DESENTRALISASI fiskal, secara ringkas, merupakan pendelegasian tanggung jawab dan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengambil keputusan di bidang fiskal. Wewenang tersebut meliputi pengaturan atas aspek penerimaan dan pengeluaran.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ditandai dengan ditetapkannya UU 25/1999. Namun, era desentralisasi fiskal baru efektif dilaksanakan pada 1 Januari 2001. Dalam perkembangannya, UU 25/1999 dicabut dan digantikan dengan UU 33/2004.
Pada dasarnya, UU 25/1999 dan UU 33/2004 mengatur tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, salah satunya kewenangan daerah untuk memungut pajak daerah. Kewenangan itu diperkuat dengan UU 34/2000 s.t.d.d UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
Setalah 2 dasarwarsa berjalan, terdapat perkembangan dan dinamika pelaksanaan desentralisasi fiskal. Untuk itu, melalui RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), pemerintah berencana menyesuaikan ketentuan terkait dengan desentralisasi fiskal dan pajak daerah untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada.
Adapun salah satu terobosan yang diusulkan adalah penerapan skema opsen pajak. Ada 3 jenis pajak daerah yang memperkenalkan opsen pajak, yaitu pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), dan pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB).
MENGACU pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), opsen adalah tambahan pajak menurut persentase tertentu, biasanya untuk kepentingan kas pemerintah daerah. Selaras dengan itu, RUU HKPD mendefinisikan opsen sebagai pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu.
Sebagai suatu pungutan tambahan, subjek dan wajib pajak opsen mengikuti pajak yang ditumpangi (diopsenkan). Begitu pula dengan objek pajak opsen juga mengikuti objek pajak yang diopsenkan. Misalnya, wajib dan objek pajak opsen BBNKB sama dengan wajib dan objek BBNKB.
Namun, berbeda dengan pajak pada umumnya, opsen tidak dikenakan berdasarkan pada nilai transaksi atau nilai objek pajak. Adapun dasar pengenaan opsen adalah besaran pajak terutang yang diopsenkan. Hal ini berarti cara menghitung opsen adalah tarif opsen dikalikan besaran pajak yang diopsenkan.
Contohnya, apabila pemerintah menetapkan tarif opsen BBNKB sebesar 30% maka tarif tersebut dikalikan dengan besaran BBNKB terutang (tarif BBNKB dikalikan dasar pengenaan pajak). Dengan demikian, adanya opsen BBNKB membuat beban wajib pajak bertambah maksimal 6% (tarif opsen 30% dikali tarif maksimal BBNKB 20%).
Namun, dalam RUU HKPD, pemerintah berencana menurunkan tarif PKB, BBNKB, dan MBLB. Penyesuaian tarif tersebut dilakukan agar beban wajib pajak tidak bertambah secara siginifikan, bahkan relatif tetap.
Selain itu, guna menyederhanakan administrasi, opsen akan dipungut secara bersamaan dengan pajak yang diopsenkan. Adapun penambahan opsen pajak MBLB untuk provinsi diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di daerah.
Sementara itu, skema opsen PKB dan BBNKB pada hakikatnya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Pasalnya, mekanisme bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota selama ini menimbulkan masalah keterlambatan karena disalurkan secara periodik.
Untuk itu, skema opsen diperkenalkan dengan tujuan agar ketika wajib pajak membayar pajak provinsi seketika bagian kabupaten/kota atas pajak tersebut dapat diterima secara paralel. Begitu pula sebaliknya agar opsen MBLB dari pajak kabupaten/kota kepada provinsi dapat diterima tepat waktu.
Skema opsen sebelumnya sempat diajukan pemerintah melalui RUU tentang Peningkatan Pendapatan Asli Daerah pada 2018. Selain itu, skema opsen juga pernah diterapkan sebagai salah satu jenis pajak daerah sampai dengan 1997, di antaranya opsen pajak penjualan bensin dan opsen pajak rumah tangga.
Dalam lanskap internasional, skema opsen pajak serupa dengan istilah piggyback tax. Secara ringkas, piggyback tax adalah pajak yang dirancang sebagai persentase tertentu dari pajak lain (Sarokin, 2020).
Sementara itu, Garner Jr (1975) mendefinisikan piggyback tax sebagai pemungutan pajak oleh satu tingkat pemerintahan untuk kepentingan tingkat pemerintah yang lain. Misalnya di Amerika Serikat, pemerintahan negara bagian memungut pajak sekian persen di atas pajak penghasilan negara federal (Lohman, 2003).
Di sisi lain, McLure, Charles E (1983) mendefinisikan piggyback tax sebagai kewenangan pemerintah daerah untuk mengenakan pajak atas basis pajak nasional di samping pajak yang sudah dikenakan pemerintah pusat. Dengan kata lain, dalam satu basis pajak dikenakan 2 macam tarif pajak.
INTINYA, opsen pajak adalah pungutan tambahan berdasarkan persentase tertentu atas suatu jenis pajak. Sebagai suatu pungutan tambahan, dasar pengenaan pajak opsen adalah besaran pajak yang diopsenkan. (kaw)