MELALUI PMK 89/2020, Menteri Keuangan merilis beleid yang mengatur secara tersendiri penetapan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak (DPP) atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu. Beleid ini dirilis untuk lebih menjamin rasa keadilan atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu.
Selain itu, Ditjen Pajak (DJP) menyatakan faktor kesederhanaan menjadi pokok inti yang ditawarkan kepada petani atau kelompok tani. Diharapkan adanya PMK 89/2020 dapat mempermudah petani atau kelompok tani dalam menjalankan kewajiban pajak pertambahan nilai (PPN).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan melalui PMK 89/2020 pengusaha kena pajak (PKP) petani tidak lagi dipusingkan dengan mekanisme penghitungan pajak masukan dalam menentukan besaran PPN yang disetor. Lantas, sebenarnya apa yang dimaksud dengan pajak masukan?
Definisi
MERUJUK IBFD International Tax Glossary (2015) pajak masukan atau input tax atau input value add tax (VAT) adalah PPN yang dibayarkan oleh pengusaha terkait dengan perolehan barang dan jasa untuk tujuan bisnis.
Lebih lanjut, apabila barang dan jasa tersebut digunakan untuk transaksi kena pajak maka pajak masukan umumnya dapat dikreditkan. Namun, apabila barang dan jasa tersebut digunakan untuk tujuan yang dikecualikan dari pengenaan pajak, maka pajak masukan umumnya tidak dapat dikreditkan.
Sementara itu, Kath Nithingale (2002) mendefinisikan pajak masukan sebagai PPN yang dapat diklaim kembali atas pembelian yang dilakukan oleh PKP.
Berdasarkan Pasal 1 angka 24 UU PPN, pajak masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan barang kena pajak (BKP), perolehan jasa kena pajak (JKP), pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean, dan/atau impor BKP.
Secara sederhana, pajak masukan dapat diartikan sebagai PPN yang telah dipungut oleh PKP pada saat penyerahan BKP/JKP dalam masa pajak tertentu. Pajak masukan tersebut dapat dikreditkan oleh PKP untuk memperhitungkan sisa pajak yang terutang melalui mekanisme pengkreditan pajak masukan.
Secara ringkas, mekanisme pengkreditan pajak masukan membuat PKP dapat mengkreditkan pajak masukan yang dibayarkannya atas perolehan barang dan jasa dengan pajak keluaran yang dipungut ketika melakukan penyerahan barang.
Apabila pajak keluaran lebih besar dari pajak masukan maka kelebihan pajak keluaran tersebut harus disetorkan kepada kas negara. Sebaliknya, apabila pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran maka kelebihan pajak masukan tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau direstitusi.
Kendati dapat dijadikan pengurang untuk mengetahui berapa besaran pajak yang harus disetor, tidak semua pajak masukan dapat dikreditkan. Prinsip pengkreditan pajak masukan diatur dalam Pasal 9 ayat UU PPN. Simak kelas “Tata Cara Pengkreditan Pajak Masukan”
Pengkreditan pajak masukan juga menjadi mekanisme yang dapat menjamin beban PPN tidak ditanggung oleh PKP melainkan konsumen akhir. Pasalnya tujuan pengenaan PPN adalah untuk mengenakan pajak atas konsumsi pribadi yang dilakukan konsumen akhir.
Simpulan
Pajak masukan adalah pajak yang dikenakan ketika PKP melakukan pembelian terhadap BKP atau pemanfaatan JKP. Hal ini berarti pajak masukan berlaku ketika PKP berada pada posisi pembeli. Pajak masukan nantinya dikreditkan dengan pajak keluaran untuk menghitung besaran pajak yang harus disetor. (Bsi)