PERKEMBANGAN teknologi informasi yang sangat dinamis mendorong transformasi pada berbagai bidang termasuk bentuk dokumen. Dokumen yang dulu berbasis cetak dan membutuhkan banyak kertas kini beralih menjadi paperless karena serba elektronik.
Merespons perubahan tersebut, pemerintah merasa perlu memperluas definisi dokumen yang menjadi objek meterai sehingga tidak hanya berupa kertas. Selain itu, ada urgensi ekstensifikasi bea meterai atas dokumen elektronik sehingga potensinya dapat dimaksimalkan.
Untuk itu, pemerintah resmi mengundangkan Undang-Undang No.10/2020 tentang Bea Meterai (UU Bea Meterai). UU Bea Meterai ini berlaku mulai 1 Januari 2020. Berlakunya UU Bea meterai itu sekaligus mencabut UU No. 13/1985 yang sudah berlaku selama 35 tahun.
Sehubungan dengan berlakunya UU Bea Meterai yang baru, pemerintah pun merilis sejumlah aturan turunan seperti PMK 133/2021, PMK 134/2021, dan PMK 151/2021. Dalam perkembangannya, ketiga beleid tersebut dicabut dan digantikan dengan PMK 78/2024.
Melalui PMK 78/2024, pemerintah mensimplifikasi regulasi terkait dengan pelaksanaan bea meterai. Simplifikasi itu dilakukan dengan melebur ketentuan pelaksanaan bea meterai ke dalam 1 peraturan. Ruang lingkup yang diatur dalam PMK 78/2024 di antaranya ialah meterai percetakan.
Lantas, apa itu meterai percetakan? Meterai percetakan merupakan salah satu jenis dari meterai dalam bentuk lain. Adapun meterai percetakan adalah meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada dokumen dengan menggunakan teknologi percetakan.
Seperti halnya meterai dalam bentuk lain, meterai percetakan tidak bisa digunakan oleh sembarang pihak. Adapun meterai percetakan digunakan untuk pemungutan bea meterai oleh pemungut bea meterai.
Pemungut bea meterai merupakan pihak yang wajib memungut bea meterai yang terutang atas dokumen tertentu dari pihak yang terutang, menyetorkan bea meterai ke kas negara, dan melaporkan pemungutan dan penyetoran bea meterai ke DJP.
Pemungut bea meterai ditetapkan dirjen pajak. Penetapan wajib pajak sebagai pemungut bea meterai itu bisa dilakukan secara jabatan atau berdasarkan permohonan. Contoh pemungut bea meterai di antaranya ialah bank. Simak Apa Itu Pemungut Bea Meterai?
Hal ini berarti meterai percetakan tak bisa dipakai oleh masyarakat awam. Sebab, meterai percetakan dipakai oleh pemungut bea meterai atas dokumen tertentu. Merujuk Pasal 34 ayat (2) PMK 78/2024, meterai percetakan hanya digunakan untuk pemungutan bea meterai atas surat berharga berupa cek dan bilyet giro.
Untuk dapat membuat meterai percetakan, pemungut bea meterai perlu mengajukan izin pembuatan meterai percetakan. Izin tersebut diajukan kepada kepala kantor pelayanan pajak (KPP) tempatnya terdaftar.
Pemungut bea meterai bisa mengajukan izin pembuatan meterai percetakan jika menyelenggarakan usaha percetakan dan telah mendapatkan izin operasional di bidang pencetakan dokumen sekuriti dari Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu (Botasupal).
Permohonan izin tersebut harus dilampiri dengan 2 dokumen. Pertama, bentuk meterai percetakan yang memenuhi unsur-unsur yang dipersyaratkan.
Bentuk meterai percetakan yang akan dibuat harus memiliki 4 unsur meliputi: (i) tulisan "METERAI PERCETAKAN"; (ii) logo Kementerian Keuangan; (iii) angka yang menunjukkan tarif bea meterai; dan (iv) nama wajib pajak pemilik izin.
Kedua, salinan dokumen izin operasional di bidang pencetakan dokumen sekuriti dari Botasupal. Meski demikian, PMK 78/2024 tidak melampirkan contoh bentuk metera percetakan.
Sebagai gambaran, contoh format meterai percetakan sempat tercantum dalam lampiran Surat Edaran Dirjen pajak No. SE - 04/PJ.5/2001. Berikut contohnya:
Nah, bentuk meterai tersebut akan tercetak (bukan ditempel) pada bilyet dan giro. Namun, contoh bentuk format meterai percetakan tersebut tentu sudah tidak lagi relevan karena ketentuan mengenai unsur-unsur yang harus termuat pada meterai percetakan pun telah berubah. (rig)