LINDE Verlag menerbitkan buku berjudul Justice, Equality and Tax Law yang dipresentasikan dalam Klaus Vogel Lecture pada 9 Desember 2022 di Vienna, Austria.
Buku yang menjadi bagian dari Series on International Tax Law ini mengambil topik umum tentang keadilan, kesetaraan, dan hukum pajak seperti judul dari buku tersebut. Tiga profesional DDTC berkontribusi dengan mengulas secara khusus dalam subtopik 4 tentang procedural law.
Pertama, Assistant Manager of Tax Compliance and Litigation Services DDTC Riyhan Juli Asyir. Kedua, Senior Specialist of Transfer Pricing Services DDTC Yurike Yuki. Ketiga, Tax Expert, CEO Office DDTC Atika Ritmelina Marhani.
Dalam edisi kali ini, Riyhan, Yurike, dan Atika bergabung dengan kontributor yang berasal dari 15 negara lainnya, seperti Austria, Belgia, Brazil, Chili, India, Italia, Jepang, Jerman, Kuwait, Meksiko, Panama, Peru, Prancis, Swiss, dan Uni Emirat Arab.
Nevia Čičin-Šain dan Mario Riedl, editor buku ini, mengatakan lanskap perpajakan internasional berkembang dinamis karena pengaruh beberapa faktor, seperti digitalisasi, globalisasi, isu penggerusan basis laba dan pengalihan laba/BEPS, dan lain sebagainya
Dengan perkembangan lanskap perpajakan internasional tersebut, dibutuhkan analisis komprehensif terbaru tentang masalah keadilan dan kesetaraan dalam hukum perpajakan. Oleh karena itu, buku ini bertujuan untuk mengembangkan wawasan akademik (kritis) dan memungkinkan analisis mendalam tentang aspek-aspek spesifik dari topik ini.
Dalam tulisannya berjudul Improving Justice and Equality through Improved Audit Procedures – The Case of Joint Tax Audits, Riyhan mengangkat tentang inisiatif joint audits sebagai salah satu metode yang dikembangkan OECD dan berbagai yurisdiksi di dunia.
Inisiatif joint audits dikembangkan untuk mencapai prinsip keadilan dan kesetaraan dalam pemungutan pajak. Joint audits merupakan bagian dari mutual administrative assistance atau kerja sama pajak internasional. Prosedur ini berada di tingkatan tertinggi dari kerja sama pajak lintas yurisdiksi (OECD, 2019).
Dalam konteks keadilan dan kesetaraan pajak, ada peluang bagi otoritas pajak dan wajib pajak untuk mencapai kepastian hukum jika inisiatif joint audits benar-benar dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan prosedurnya.
Hal tersebut mengingat agenda utama inisiatif joint audits adalah kepastian hukum sebagaimana disebutkan dalam OECD joint audit report (OECD, 2019). Namun, hingga saat ini, berdasarkan pada praktik dan pengalaman di 5 benua, harus diakui masih terdapat berbagai tantangan untuk menerapkan prosedur joint audits.
Selain keterbatasan kerangka hukum dan sumber daya, persoalan mendesak lainnya adalah tentang seberapa luas kewenangan pemeriksa pajak untuk benar-benar memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak.
Kewenangan yang dimaksud seperti (i) dapatkah tim audit menerbitkan ketetapan pajak yang mengikat secara hukum terhadap masa/tahun pajak terperiksa dan (ii) apakah ketetapan pajak tersebut dapat juga digunakan sebagai landasan untuk mekanisme kepastian hukum pajak lainnya seperti Advanced Pricing Agreement (APA) dan Advanced Tax Ruling (ATR).
Selanjutnya, dalam tulisannya berjudul The Bearer of the Burden of Proof in Cases of Abuse of Law, Yurike membahas tentang beban pembuktian dalam kasus abuse of law yang sering kali dikaitkan dengan praktik penghindaran pajak yang tidak diperkenankan.
Pembahasan dimulai dengan mengulas konsep abuse of law dalam konteks pajak internasional. Umumnya, beberapa negara telah memiliki ketentuan antipenghindaran pajak di negaranya. Ketentuan tersebut dapat berupa judicial doctrine yang umumnya dibentuk oleh putusan hakim terdahulu ataupun pengaturan General Anti-Avoidance Rule (GAAR).
Yurike juga membahas mengenai pentingnya mengetahui hal yang harus dibuktikan dalam kasus abuse of law, pihak yang menanggung beban pembuktian, dan standar pembuktian ataupun tingkat keyakinan hakim yang harus dicapai dalam menjatuhkan putusan. Analisis ini dilakukan melalui tinjauan di beberapa negara, antara lain Uni Eropa, Inggris, Amerika Utara, dan Asia Pasifik.
Kemudian, Atika dalam tulisannya dengan judul Tax Compliance Management Systems – To a better Tax Assessment through Enhanced Tax Management, mengemukakan bahwa perusahaan harus lebih bersiap dengan suatu sistem manajemen kepatuhan pajak (tax compliance management system/TCMS) yang andal.
Persiapan tersebut menjadi keharusan karena sistem perpajakan yang kompleks dan dinamis mendorong perusahaan untuk memperoleh ‘kepastian’ atas proses bisnis atau transaksi yang dilakukannya. Adanya TCMS kemudian menjadi alat bagi perusahaan untuk memperoleh ‘kepastian’ tersebut.
Pasalnya, TCMS terbentuk dari tata kelola internal dan sistem pengendalian perusahaan di bidang perpajakan. Dalam arti lain, dengan adanya TCMS yang andal, perusahaan dapat menunjukkan bahwa dirinya telah melakukan pengelolaan internal kontrol pajak dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip tata kelola pajak yang baik (good tax governance).
Atika juga mengemukakan bahwa TCMS harus dilihat dalam cakupan yang lebih luas, yaitu tidak hanya berfokus pada pemenuhan kewajiban kepatuhan perpajakan, tetapi juga mencakup manajemen risiko perpajakan perusahaan.
Gagasan tersebut didukung dengan perkembangan terkini, yakni OECD mengedepankan paradigma kepatuhan pajak yang baru melalui Compliance Risk Management (CRM). CRM juga telah diimplementasikan di Indonesia.
Buku ini sangat berguna tidak hanya bagi praktisi, dunia usaha, dan akademisi, tetapi juga bagi pembuat kebijakan di Indonesia. Informasi mengenai perbandingan ketentuan perpajakan berbagai negara yang diulas dalam berbagai subtopik bahasan pada buku ini bisa dijadikan suatu benchmark bagi desain ketentuan di Indonesia.
Bagaimana, tertarik membaca buku ini? Anda bisa berkunjung ke DDTC Library.