“This growing mountain of garbage and trash represents not only and attitude of indifference toward valuable natural resources, but also a serious economic and public health problem”.
Kutipan dari Jimmy Carter, presiden Amerika Serika ke-39, tersebut cukup dapat menggambarkan situasi hampir di seluruh dunia yang penuh dengan limbah atas konsumsi manusia. Situasi tersebut menjadi perhatian negara-negara Uni Eropa, yang kemudian membawa mereka pada tujuan untuk mencapai konsep full circular economy pada 2050.
Konsep circular economy merupakan prinsip mengurangi sampah dan memaksimalkan sumber daya yang ada dengan mengubah model ekonomi tradisional yaitu ambil, pakai, dan buang, menjadi model reduce, reuse, and recycle (3R).
Dengan konsep tersebut, memungkinkan adanya penyerahan material bekas pakai (second-hand goods) dari konsumen akhir kepada produsen, supaya second-hand goods tersebut dapat diolah sedemikian rupa sehingga memiliki kegunaan yang sama seperti sebelumnya.
Sifat dan konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang selama ini dikenal dengan pajak atas konsumsi yang dikenakan di setiap rantai penyerahan dari produksi hingga konsumsi, juga menjadi perlu ketentuan khusus.
Jurnal yang ditulis Madeleine Merkx berjudul A New (Circular) Economy: A New Special Arrangement for Second-Hand Goods! menguraikan secara ringkas mengenai ketentuan khusus terkait ketentuan PPN yang berlaku atas penyerahan second-hand goods, yang berlaku bagi negara-negara Uni Eropa.
Dalam uraiannya, Madeleine mengemukakan pendapatnya terkait dengan bagaimana ketentuan khusus yang berlaku saat ini dan mengapa ketentuan tersebut memerlukan pembaruan.
Ketentuan khusus yang mengatur PPN atas penyerahan second-hand goods memiliki tujuan untuk mencegah pengenaan pajak berganda dan mencegah terjadinya distorsi pasar tersebut diatur dalam Article 311 sampai dengan Article 325 VAT Directive.
Secara garis besar ketentuan khusus ini berbentuk opsi-opsi pengenaan PPN atas penyerahan second-hand goods, tetapi terbatas pada second-hand goods berwujud yang bergerak.
Pertama, dasar pengenaan pajak atas PPN adalah profit margin dengan beberapa ketentuan seperti diatur dalam Article 314. Penerapan PPN atas profit margin terbatas apabila second-hand goods yang diterima taxable dealers dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, yaitu bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Lalu, PKP yang penyerahan barang dikecualikan dari pemungutan PPN seperti diatur dalam Article 136, PKP yang penyerahannya merupakan barang modal, termasuk usaha kecil, sebagaimana diatur dalam Article 282 dan Article 292, dan sesama taxable dealers.
Kedua, dasar pengenaan pajak atas PPN adalah selling price seperti diatur Article 319 dengan ketentuan lawan transaksi memiliki hak untuk mengkreditkan PPN yang dibayarkan.
Menurut Madeleine, sifat ketentuan khusus yang opsional tersebut tak memberikan satu kepastian. Suatu transaksi penyerahan second-hand goods dapat saja menerapkan ketentuan khusus, tetapi kemudian saat penjualan kembali second-hand goods PKP tidak menggunakan ketentuan khusus.
Hal tersebut menyebabkan PPN terus menerus dihitung sebagai bagian dari harga beli second-hand goods sehingga pengusaha akan berlomba-lomba mendapatkan harga yang paling rendah dan menyebabkan ketidakseimbangan pasar.
Dalam kesimpulannya, Madeleine memberikan dua usulan yaitu memberlakukan tarif tetap yang menurun atau flat rate deductions yang dapat berguna untuk jenis-jenis barang mentah (material raw) sehingga nilai kegunaannya akan makin seiring frekuensi digunakan ulang (reuse).
Apabila flat-rate deductions dirasa kurang memungkinkan, penulis mengusulkan adanya penerapan ketentuan umum PPN untuk penyerahan second-hand goods yang dilakukan antarnegara anggota Uni Eropa.
Secara keseluruhan, Madeleine menjelaskan bagaimana aturan khusus pengenaan PPN atas penyerahan second-hand goods itu berlaku. Penulis juga menjelaskan sejumlah kelemahan dari ketentuan untuk dapat menjadi pertimbangan sehingga bisa memberikan kepastian hukum.
Jurnal ini tidak hanya menarik untuk dibaca, tetapi juga membuat pembaca dapat memahami keseluruhan maksud penulis dengan secara tidak langung mempelajari konsep pajak dari negara lain.