RESENSI JURNAL

Mitigasi Kendala PPN dengan Blockchain

Redaksi DDTCNews
Senin, 19 Juli 2021 | 09.30 WIB
Mitigasi Kendala PPN dengan Blockchain

DEWASA ini, blockchain atau teknologi rantai blok makin ramai dibicarakan tidak hanya oleh masyarakat yang melek teknologi, tetapi juga masyarakat umum.

Teknologi yang pertama diperkenalkan pada 2008 tersebut dijabarkan secara sederhana sebagai suatu basis data yang terdistribusi. Setiap data transaksi dalam blockchain diverifikasi setiap pihak dalam jaringan sehingga dapat mengurangi terjadinya pemalsuan data.

Potensi penggunaan blockchain terbilang cukup luas, dari pertukaran informasi (Wan, et al., 2020) hingga penangkalan campur tangan asing pada pemilu (Keleher, 2021).

Robert Muller, dalam artikelnya berjudul Building a Blockchain for the EU VAT yang dimuat dalam Tax Notes International, Vol. 100, No.8 (November, 2020), mengulas implementasi blockchain pada administrasi pajak pertambahan nilai (PPN) dalam rangka memerangi pengelakan PPN di Eropa.

Kerugian dari pengelakan PPN di Eropa disinyalir mencapai €140 miliar pada 2018. Adapun salah satu modus pengelakan adalah perusahaan tidak menyetor PPN yang sudah dipungut, khususnya dalam transaksi antarnegara.

Muller menjelaskan perusahaan diharuskan membuat faktur secara digital pada sistem blockchain untuk mencegah pengelakan PPN. Data faktur akan langsung diterima otoritas (real-time reporting) sehingga otoritas bisa mengetahui transaksi tanpa menunggu pelaporan perusahaan.

Keseragaman format data dalam blockchain juga membantu otoritas menelusuri jejak transaksi (barang dan uang). Ditambah lagi, data yang dimasukkan ke dalam blockchain bersifat tetap (immutable). Fitur-fitur ini merupakan elemen penting dalam pencegahan dan pemberantasan pengelakan pajak.

Muller merujuk sistem terintegrasi PPN di negara anggota Gulf Cooperation Council sebagai model yang dapat ditiru di Eropa. Sistem tersebut mensyaratkan pencatatan transaksi terutang PPN dengan format yang seragam ke suatu sistem pertukaran informasi elektronik antarnegara. Pertukaran informasi inilah yang kurang dari sistem PPN Eropa saat ini.

Kesiapan infrastruktur dan dasar hukum diidentifikasi sebagai tantangan pengaplikasian blockchain di Eropa. Komisi Eropa diharapkan untuk mengembangkan sistem dengan interoperabilitas tinggi dan mudah digunakan oleh perusahaan dari skala kecil hingga besar.

Beberapa pasal dalam peraturan PPN di Eropa, seperti kewajiban penyimpanan secara digital dan pertukaran informasi otomatis, juga perlu disesuaikan untuk memberikan dasar hukum yang kuat. Muller percaya investasi pembangunan sistem berbasis blockchain dapat membawa peningkatan tajam pada pendapatan pajak di masa depan.

Secara keseluruhan, artikel Muller berfokus pada digitalisasi dokumen untuk mencegah pengelakan pajak. Namun, digitalisasi dokumen bisa dibilang hanya merupakan ‘kulit’ dari potensi implementasi teknologi blockchain di ranah pajak.

Smart contract dalam blockchain, misalnya, dapat mengeliminasi peran pemungut PPN. Saat transaksi terjadi, smart contract akan menentukan apakah transaksi tersebut terutang PPN lalu melakukan penghitungan, pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dalam hitungan detik (Tapscott, 2021). Alhasil, biaya kepatuhan perusahaan akan berkurang.

Fitur smart contract pun relevan dalam pembahasan isu yang sedang dihadapi Indonesia terkait dengan pemberlakuan tarif PPN tunggal atau multitarif. Di satu sisi, penerapan multitarif sejatinya dapat memberikan keadilan (Darussalam, 2021). Di sisi lain, administrasi PPN akan menjadi lebih sulit (Liam, et al., 2001).

Dengan blockchain, perusahaan hanya perlu memasukkan data barang dan/atau jasa dan penentuan tarif dilakukan oleh smart contract. Keadilan pun bisa tercapai dengan beban administrasi yang relatif minim.

Selanjutnya, aplikasi teknologi blockchain juga memungkinkan pemerintah untuk melakukan real-time audit (Majdanska, 2018). Waktu pemeriksaan yang lebih awal dan cepat pada real-time audit bisa segera memberikan kepastian bagi perusahaan atas pajak yang dibayarkan (Welty, et al., 2016).

Sebagai contoh, pada 2019, Thailand meluncurkan aplikasi berbasis blockchain untuk pengembalian pajak (tax refund) bagi turis asing. Permohonan diperiksa secara otomatis dengan mencocokkannya dengan data pembelian pada blockchain. Akibatnya, kebutuhan sumber daya (waktu, manusia, dan dokumen fisik) untuk memproses permohonan menurun secara drastis (Kuijper, et al., 2020).

Selain itu, kesalahan atau kecurangan dapat langsung terdeteksi dan ditindak lebih lanjut tanpa menunggu laporan di akhir bulan atau tahun. Satu contoh adalah dalam hal penerbitan faktur pajak fiktif yang kerap terjadi di Indonesia.

Dengan real-time audit, suatu faktur pajak yang diterbitkan bisa langsung diuji berdasarkan pada ketentuan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-17/PJ/2018 terkait indikasi penerbit faktur pajak tidak sah. Apabila terbukti fiktif, penerbit bisa langsung diputus aksesnya dari blockchain dan PPN-nya dibatalkan.

Lebih lanjut, data pada blockchain akan menjadi aset penting bagi pemerintah. Blockchain dapat memberikan data berkualitas tinggi, terperinci, dan spesifik yang dapat dipadukan dengan machine learning untuk melakukan pengawasan dan penilaian risiko wajib pajak (Owens dan Olowska, 2021). Dengan demikian, pemerintah pun dapat melakukan evaluasi dan penyesuaian strategi pajak.

Muller menutup artikelnya dengan dorongan kepada Eropa untuk mempercepat pengembangan teknologi pajak mengikuti tren internasional. Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi memang terus berkembang sangat cepat dengan skala yang semakin masif (Harari, 2018). Oleh karena itu, negara yang tertinggal bisa kehilangan potensi manfaat yang besar.

Aspek yang menarik untuk digali lebih lanjut adalah perubahan yang akan dibawa blockchain terhadap keseluruhan sistem PPN. Seiring dengan digantikannya peran manusia, negara-negara sedang mencari cara untuk memajaki teknologi untuk menutup penurunan pendapatan dari hilangnya pekerjaan manusia (Falcao, 2018).

Di masa depan, teknologi blockchain bisa jadi tidak hanya digunakan untuk alat administrasi pajak, tetapi juga sebagai objek atau bahkan subjek pajak baru.

*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.