KEBIJAKAN PAJAK

Mendesain Kebijakan Insentif Pajak untuk Industri Kreatif

Redaksi DDTCNews
Selasa, 09 April 2019 | 14.25 WIB
Mendesain Kebijakan Insentif Pajak untuk Industri Kreatif

INDUSTRI kreatif saat ini memiliki dampak yang signifikan teradap perekonomian suatu negara, terutama dalam upaya mendorong pertumbuhan dan menyerap tenaga kerja. Tidak hanya di negara berkembang seperti halnya di Indonesia, industri ini juga memberikan dampak yang signifikan dalam skala global seiring banyaknya pergeseran model bisnis yang tidak lagi bersifat konvensional.

Sumber daya utama industri ini berasal dari kreativitas. Inovasi yang dihasilkan karena oleh peran kreativitas tersebut pada akhirnya tidak hanya mendorong pertumbuhan industri tersebut di tingkat individu, namun berlanjut hingga tingkat perusahaan. Mencermati hal ini, buku berjudul Tax Incentives for the Creative Industries yang diterbitkan pada tahun 2017 ini hadir untuk mengupas bagaimana peran pemerintah dalam upaya mendorong perkembangan inovasi tersebut.

Dari segi definisi industri kreatif itu sendiri, buku ini tidak secara spesifik mengutip klasifikasi yang terdapat pada umumnya. Sebagai gantinya, industri tersebut didefinisikan melalui tiga karakteristik. Karakteristik pertama ialah kepemilikan budaya dari industri kreatif berkaitan erat dengan aspek perekonomian suatu negara. Pada akhirnya, tujuan kebijakan dari kebudayaan seperti misalnya akses terhadap keragaman budaya suatu negara tetap harus berjalan seiringan dengan tujuan perekonomian negara tersebut.

Karakteristik kedua industri kreatif ialah adanya kombinasi antara aspek seni (art) dengan dampak perdagangan. Sebagai contoh, pencipta konten budaya yang memikirkan cara penyampaiannya agar industri kreatif berupa seni tersebut dapat diterima oleh khalayak. Karakteristik terakhir ialah bahwa industri dapat berupa non-profit maupun ­for-profit.

Urgensi Insentif Pajak untuk Industri Kreatif

Insentif pajak tidak dapat serta-merta diberikan atas suatu sektor industri, termasuk industri kreatif. Diperlukan beberapa justifikasi dalam upaya pemberian fasilitas fiskal pemerintah tersebut. Oleh karena itu, bagian awal buku ini mengulas beberapa pertimbangan yang menjadi dasar pemerintah dalam menerbitkan insentif pajak, terutama yang menitikberatkan peran sektor ini terhadap perekonomian negara.

Pertama, kontribusi dari industri kreatif pada perekonomian sendiri tumbuh secara signifikan. UNCTAD (2008) mencatat bahwa dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2005 pertumbuhan perdagangan barang dan jasa internasional dalam bidang industri kreatif mencapai sebesar 8,7%. Lebih lanjut, nilai ekspor dari produk kreatif sendiri mencapai US$424 miliar pada 2005.

UNCTAD pada 2010 juga menyatakan bahwa pertumbuhan ekspor industri ini mencapai rata-rata 14% per tahun sejak 2002 yang mengungguli sektor industri lainnya. Pertumbuhan ini terutama ditopang oleh pertumbuhan nilai ekspor jasa kreatif yang berkembang dari US$62 miliar menjadi US$185 miliar dengan nilai pertumbuhan mencapai 17% dari kurun waktu 2002 sampai dengan 2008.

Kedua, kontribusi industri kreatif yang dapat memberikan dampak positive externalities atau bisa disebut eksternalitas positif terhadap sektor lainnya di perekonomian. Sebagai contoh, para turis yang masuk ke suatu negara untuk mengunjungi museum dan teater kemudian bisa menetap di hotel, makan di restoran, dan kafe sekitar. Kunjungan ke museum atau teater yang merupakan salah satu jenis spesifik dari industri kreatif tersebut pada akhirnya dapat memberikan dampak positif terhadap sektor bisnis lainnya.

Instrumen Kebijakan untuk Industri Kreatif

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pemerintah sebenarnya sudah memiliki berbagai alasan untuk turut ikut campur ke dalam pasar industri kreatif. Dalam hal ini, pemerintah dapat menerapkan beberapa instrumen kebijakan.

Instrumen ini turut dijelaskan dalam pengantar konsep di buku ini. Instrumen pertama ialah undang-undang, seperti halnya izin persyaratan atau kualifikasi tertentu untuk diterapkan di bidang tertentu di industri kreatif. Instrumen kedua ialahkampanye informasi dan dorongan, seperti misalnya kampanye pemerintah untuk mempromosikan salah satu produk tertentu dalam negeri.

Selanjutnya ialah instrumen denda atau retribusi. Salah satu contoh instrumen ketiga ini adalah pengenaan denda atau bea masuk yang tinggi pada film panas. Instrumen terakhir ialah subsidi di mana insentif pajak kemudian muncul sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah bagi industri kreatif berupa subsidi tidak langsung.

Contoh kasus fasilitas fiskal yang disebutkan dalam buku ialah berupa penerapan insentif pajak pada industri keartisan atau seniman di negara Inggris. Insentif ini dikenal sebagai Theatre Tax Relief (TTR) yang diperkenalkan ke publik pada 2014. TTR ini dipersiapkan pemerintah agar menjadikan seni teater menjadi lebih menarik bagi calon investor. Pemerintah juga mengharapkan bahwa dengan adanya investasi ini maka akan meningkatkan produksi pertunjukan teater di negaranya. Insentif ini utamanya ditujukan untuk jenis pertunjukan seni teater dengan risiko produksi yang tinggi.

Insentif Pajak Industri Kreatif dan Pajak Internasional

Hal menarik lainnya dari buku ini adalah adanya diskusi pajak internasional terkait insentif pajak industri kreatif. Buku ini menjelaskan bahwa sektor kreatif pun terkena dampak, layaknya industri lain dalam upaya menghindari harmful tax competition, yang dikhawatirkan dapat mengakibatkan pengalihan laba antarnegara.

Pembahasan harmful tax competition dalam bidang industri kreatif memberikan penekanan mengenai pemajakan atas barang tak berwujud, seperti halnya paten dan hak cipta yang merupakan bagian tak terpisahkan dari industri kreatif. Aspek pemajakan ini kemudian dikaitkan dengan Aksi ke-5 Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), yaitu “Countering Harmful Tax Practices More Effectively, Taking into Account Transparency and Substance.”

Ulasan keterkaitan antara kompetisi pajak internasional dengan insentif pajak juga ditunjukkan pada kasus Uni Eropa. Dalam hal ini, Uni Eropa bahkan membatasi negara-negara anggota dalam memberikan bantuan kepada industri kreatif dan budaya. Pemberian insentif hanya dapat dilakukan atas persetujuan Komisi Eropa dan dengan syarat tidak melanggar state aid rule dan state aid directive. Lebih lanjut, buku ini juga mengulas pemberian insentif pajak dalam konteks lintas negara yang dapat menyebabkan kompetisi pajak yang tidak setara beserta solusi yang dapat ditawarkan.

Pembahasan mengenai pemberian insentif pajak pada suatu sektor industri tidak hanya dapat bersifat ‘sempit'. Wawasan yang sangat luas seperti dari aspek ekonomi, keuangan publik, serta undang-undang pajak sangat diperlukan dalam melakukan tinjauan atas insentif tersebut. Hal ini kemudian menjadikan buku ini sebagai instrumen pengantar yang sangat komprehensif dalam penerapan intensif pajak untuk industri kreatif.

Kedua editor buku ini, Sigrid Hemels dan Kazuko Goto, saling mendukung dan melengkapi dalam proses penulisan. Hemels sendiri tergolong aktif dalam melakukan kajian dalam bidang insentif perpajakan sedangkan Goto dalam kajian industri kreatif. Terlebih, keduanya juga terhitung aktif dalam organisasi pemerintahan ataupun organisasi eksternal lainnya sehingga mengetahui gambaran praktikal atas kebijakan ini.

Pendekatan yang digunakan dalam buku ini sendiri bersifat akademis dan praktis, menjadikan buku ini semakin relevan bagi banyak pihak. Pembuat kebijakan, peneliti, dan mahasiswa maupun pembaca yang terlibat dalam industri kreatif dan tertarik mencari gambaran mendalam mengenai insentif pajak di sektor tersebut sangat direkomendasikan untuk membaca buku ini.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.