PADA 2017 lalu, Cambridge University Press menerbitkan buku berjudul A Global Analysis of Tax Treaty Disputes. Buku ini mengupas pola dan analisis atas 1.610 kasus sengketa pajak terkait Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dari 27 negara, salah satunya Indonesia. Bab mengenai Indonesia ditulis oleh pakar pajak internasional Indonesia yang telah diakui kepakarannya di level dunia, yaitu Darussalam dan Freddy Karyadi.
Tentang Buku Ini
Buku ini diedit oleh Prof. Eduardo Baistrocchi. Di kalangan akademisi pajak internasional, nama Eduardo Baistrocchi bukan nama yang asing. Profesor hukum di London School of Economics ini bisa dibilang ‘gila’, apalagi lewat buku barunya yang bertajuk A Global Analysis of Tax Treaty Disputes. Bagaimana tidak, dalam buku tersebut Baistrocchi melakukan analisis mendalam serta memetakan pola atas 1.610 kasus sengketa pajak terkait Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dari 27 negara.
Proses penelitian, pembuatan, dan editing buku yang menghabiskan waktu selama lima tahun (2012-2017) tersebut memerlukan komitmen dan daya jelajah yang tinggi. Selain itu, analisis dan paparan buku yang diterbitkan oleh Cambridge University Press ini jauh lebih rumit dari buku serupa yang diedit olehnya dan Ian Roxan di 2012, Resolving Transfer Pricing Disputes: A Global Analysis.
Baistrocchi agaknya juga mengambil spirit salah satu metodologi penelitian ilmu hukum, yaitu: empirical legal research. Analisis atas suatu persoalan atau fenomena tidak lagi dilihat dari segelintir sampel saja, namun dilakukan dan disimpulkan dari banyak kasus.
Buku yang berisi lebih dari 1.500 halaman dan dibagi dalam dua volume ini sangat relevan dalam upaya memahami situasi sistem pajak internasional yang berlaku sekarang dan mendatang. Terutama dengan mempertimbangkan fakta bahwa sengketa P3B erat kaitannya dengan global tax war jilid tiga yang menyertakan adanya revolusi digital. Revolusi digital ini justru mengakselerasikan adanya kompetisi global antarnegara di mana basis pajak semakin bersifat mobile.
Buku ini terdiri atas 34 bab dan dibagi dalam lima bagian: pendahuluan, tren sengketa di OECD, tren sengketa di BRICS, tren sengketa di negara non-OECD dan non-BRICS, serta penutup. Bisa dibilang bahwa bagian penutup adalah bagian yang menunjukkan ‘kegilaan’ Baistrocchi dalam menarik kesimpulan atas tren sengketa P3B di banyak negara. Bagian penutup mencakup empat bab yang mengupas taksonomi pola sengketa P3B, tahapan dan perkembangan rezim pajak internasional dan evolusi penyelesaian sengketa P3B, dampak dari triple-non taxation dan BEPS, serta analisis kuantitatif atas sengketa P3B global.
Mengapa Harus Dibaca?
BANYAK alasan mengapa buku ini harus dibaca. Pertama, dari sisi cakupan, representasi, dan keandalan. Buku ini mengambil studi kasus sengketa P3B yang berasal dari 27 yurisdiksi atau kawasan, yaitu: 16 negara OECD, 5 negara BRICS (plus Hong Kong), serta 6 negara di luar OECD dan BRICS, termasuk Indonesia. Atau dengan kata lain, buku ini mencakup seluruh negara G20 dan tujuh negara non-G20 (Siprus, Hong Kong, Irlandia, Belanda, Singapura, Swis, dan Uganda). Ketujuh negara tersebut sering disebut sebagai pusat keuangan kawasan, berperan dalam rezim pajak internasional, serta memiliki hubungan dengan negara-negara G20. Dengan demikian, secara tidak langsung kasus sengketa yang diulas dalam buku ini merepresentasikan lebih dari 80% sengketa P3B global.
Tidak hanya itu, terdapat 41 kontributor kelas dunia yang terlibat. Contohnya saja, Kees van Raad, Toshio Miyatake, Christiana HJI Panayi, Arthur Cockfield, Yariv Brauner dan sebagainya. Seperti yang disebutkan sebelumnya, untuk bab mengenai Indonesia, ditulis oleh dua pakar pajak internasional Indonesia yang mumpuni, yaitu Darussalam dan Freddy Karyadi. Singkatnya, keandalan dan kedalaman analisis buku ini tidak perlu diragukan.
Kedua, komprehensif tapi mudah dibaca. Walau memiliki konten yang cukup rumit dan komprehensif, buku ini relatif mudah dibaca karena disusun sistematis. Hal ini bisa dilihat dari adanya pertanyaan yang seragam sebagai panduan penulisan tiap laporan negara hingga tersedianya golden bridge, yaitu tabel rangkuman kasus sengketa yang telah dikelompokkan dalam tiap pola sengketa.
Ketiga, pola dan pemetaan sengketa. Dari 1.610 kasus yang dijadikan studi, Baistrocchi membaginya ke dalam 116 pola sengketa P3B. 64 dari 116 pola sengketa (55%), umumnya merupakan sengketa atas: (i) penyalahgunaan P3B; (ii) konflik karakterisasi penghasilan; (iii) konflik mengenai transfer pricing; (iv) konflik hak pemajakan negara sumber; dan (v) konflik terkait pinsip non-diskriminasi. Sedangkan jika ditinjau dari jenis pasal dalam Model P3B OECD, pola sengketa sebagian besar terkait dengan persoalan pasal-pasal definisi (49%), pasal-pasal substantif (31%), dan pasal-pasal prosedural (20%).
Keempat, pemetaan perkembangan rezim pajak internasional. Baistrocchi membagi perkembangan rezim pajak internasional atas 6 tahap. Mulai dari tahap ke-I yaitu di saat sistem pajak penghasilan mulai diperkenalkan, namun baik sengketa pajak internasional dan rezim pajak internasional belum terbentuk, hingga tahap ke-VI di mana seluruh sengketa P3B telah bisa diselesaikan baik melalui litigasi, konsultasi dengan administrasi pajak domestik, ataupun melalui Mutual Agreement Procedure (MAP), Advance Pricing Agreement (APA), dan Alternative Dispute Resolution (ADR).
Masing-masing kawasan memiliki kecepatan yang berbeda dalam mencapai seluruh tahap (I hingga VI). Sebagai contoh, negara-negara Asia Pasifik rata-rata membutuhkan waktu 71 tahun sejak tahap ke-I hingga mencapai tahap ke-VI. Hal ini dikarenakan pertumbuhan FDI yang pesat seperti halnya di Korea Selatan dan Singapura. Bandingkan misalkan dengan rata-rata yang dibutuhkan negara di kawasan Eropa dan Amerika Utara yaitu sekitar 103 tahun. Tahapan-tahapan tersebut menunjukkan tingkat kematangan tiap negara/kawasan dalam menghadapi sengketa P3B. Baistrocchi juga sekaligus menyimpulkan bahwa kehadiran P3B telah mendorong konvergensi pajak dan globalisasi.
Kelima, analisis kuantitatif. Dari analisis kuantitatif, terdapat beberapa temuan yang menarik. Misalkan, adanya perbedaan pola pertumbuhan sengketa P3B antara negara OECD (negara maju) dan negara berkembang. Sejak 1940, sengketa P3B cenderung meningkat terus di negara OECD, namun jumlahnya menurun drastis sejak abad-21. Di sisi lain, negara-negara berkembang baru mengalami pertumbuhan sengketa P3B sejak dekade 1990-an. Puncaknya, pada tahun 2000-an, jumlah sengketa P3B di negara berkembang nyaris menyamai jumlah sengketa di negara-negara OECD.
Selain itu, analisis kuantitatif juga memberikan pola putusan kasus P3B. Secara umum, kemenangan pemerintah dalam sengketa P3B di negara G20 non-OECD lebih rendah persentasenya daripada negara OECD. Di dekade 2000-an, pemerintah di negara OECD memenangkan sekitar 55% sengketa P3B, sedangkan pemerintah di negara berkembang hanya menang sekitar 35% saja. Artinya, walaupun jumlah sengketa P3B meningkat di negara berkembang, sebagian besar masih dimenangkan oleh wajib pajak.
Keenam, kajian ini menjelaskan hubungan dan peran negara-negara investment-hub. Dari 116 pola sengketa P3B, sekitar 46 pola sengketa melibatkan negara-negara yang dianggap sebagai pusat investasi keuangan non-G20, yaitu: Bahama, Barbados, Bermuda, Belgia, Belanda, British Virgin Island, Chile, Siprus, Guernsey, Hong Kong, Irlandia, Jersey, Luksemburg, Singapura, dan Swiss. Sebagian besar sengketa P3B dengan negara-negara tersebut berasal dari konflik improper use of the convention. Atau, dengan kata lain praktik treaty shopping untuk mengurangi alokasi pemajakan negara sumber penghasilan adalah hal yang kerap ditemui. Tingginya pola yang melibatkan negara-negara tersebut juga menunjukkan bahwa kehadiran mereka menjadi pelumas adanya kompetisi pajak internasional, sekaligus membuka peluang untuk praktik penghindaran pajak.
Terakhir, struktur rezim pajak internasional yang berlandaskan pada P3B mengacu pada co-opetition game, yaitu mengandung elemen kerja sama dan kompetisi secara simultan. Ini diperkuat oleh beberapa hal, terutama dengan adanya fakta bahwa hampir seluruh negara kini mengacu pada dokumen model P3B yang disusun oleh OECD (beserta turunannya), baik dalam formulasi P3B, acuan hukum pajak domestik, maupun sumber dalam interpretasi P3B. Tidak mengherankan jika model P3B OECD juga menyiratkan adanya perdebatan kepentingan.
Sengketa P3B di Indonesia
SEBAGAI salah satu negara emerging economy, sejarah P3B Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks adanya keinginan untuk menarik foreign direct investment (FDI). Hal ini bisa dilihat dari dimilikinya P3B pertama Indonesia (dengan Belanda) di awal Orde Baru. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa P3B yang dimiliki oleh Indonesia dipengaruhi oleh baik OECD maupun UN Model dengan beberapa deviasi.
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh kedua penulis, Darussalam dan Karyadi, dalam menulis laporan mengenai Indonesia agaknya terletak pada tidak tersedianya putusan pengadilan pajak secara lengkap guna keperluan analisis. Seperti kita ketahui, hingga saat ini pengadilan pajak belum sedemikian transparan dalam merilis hasil-hasil putusan. Kalaupun ada, putusan hanya berupa risalah.
Akan tetapi, hal ini tidak mengurangi kualitas dan kadar analisis keduanya. Dari penelusuran atas berbagai putusan pengadilan pajak terkait questions of law (interpretasi), kedua penulis bisa memetakan dan menganalisis berbagai sengketa P3B yang kerap terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, sengketa terkait penghasilan pelayaran internasional, kasus sengketa transfer pricing, sengketa definisi royalti, hingga sengketa penghasilan bunga.
Setidaknya ada empat hal yang bisa disimpulkan dari analisis sengketa P3B tentang Indonesia, yaitu:
Pertama, pola sengketa yang dihadapi oleh Indonesia (di luar sengketa seperti certificate of domicile), secara umum sama dengan pola sengketa P3B secara global. Hal ini dapat diartikan bahwa persoalan sengketa P3B di Indonesia lebih disebabkan oleh kelemahan sistem pajak internasional itu sendiri. Kedua, doktrin substance over form (sering disebut doktrin anti-abuse) kerap dipergunakan dan berperan penting dalam sengketa P3B di Indonesia. Ketiga, hakim pengadilan pajak umumnya telah mempertimbangkan berbagai referensi semisal case law, literatur akademis, dan OECD Commentary. Terakhir, walaupun Mutual Agreement Procedure (MAP) dan Advance Pricing Agreement (APA) baru diterapkan, terdapat prediksi bahwa keduanya akan meningkat seiring berjalannya waktu.
Sebagai penutup, buku ini sangat berguna tidak hanya bagi praktisi dan akademisi, namun juga bagi pembuat kebijakan di Indonesia. Informasi mengenai pola sengketa P3B ini jelas merupakan sesuatu yang perlu untuk dijadikan temuan awal untuk mendesain ketentuan domestik serta kebijakan P3B ke depannya.
Tertarik untuk membaca buku ini lebih lanjut? Silahkan datang ke DDTC Library, perpustakaan perpajakan terbesar dan terlengkap di Indonesia.