KEINGINANNYA untuk melanjutkan studi bidang teknik setelah lulus SMA tidak terjadi. Akhirnya, memutuskan untuk mengikuti saran ibunya untuk mempelajari ekonomi. Seiring berjalannya waktu, dia justru tertarik dengan bidang ekonomi, terutama pajak.
Ketertarikannya pada pajak terjadi saat mengikuti mata kuliah yang diampu pegawai Ditjen Pajak (DJP). Hingga pada akhirnya, dia menekuni profesi sebagai pengajar pada salah satu perguruan tinggi yang justru disarankan ayahnya saat SMA.
Dia adalah Bendahara I Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) Aulia Hidayati.
PERTAPSI menjadi nama baru dari Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (ATPETSI). Perkumpulan ini merupakan satu-satunya wadah bagi tax center dan akademisi pajak di Indonesia yang mandiri dan membentuk badan hukum.
DDTCNews berkesempatan mewawancarai Aulia secara daring. Wawancara lebih banyak membahas tentang perjalanan keprofesian, pendidikan, serta pandangannya terkait peran tax center dan akademisi. Berikut kutipannya:
Apa saja aktivitas keseharian Anda terkait dengan keprofesian?
Saya sebagai dosen di Program Studi Akuntansi Sekolah Vokasi IPB University. Selain sebagai dosen, saya juga menjadi konsultan, manajer keuangan, di beberapa perusahaan. Jadi, keseharian keprofesian saya tidak jauh-jauh dari akuntansi dan pajak.
Apakah memang dari awal sudah ingin jadi pengajar, terutama pada bidang pajak?
Enggak. Saya dulu saat SMA, inginnya lanjut masuk ke teknik. Jadi, saat ujian masuk kuliah, saya milihnya teknik. Waktu itu, ibu menyarankan saya untuk masuk ekonomi. Bapak nyuruh saya masuk peternakan IPB karena sesuai dengan bidangnya.
Singat cerita, saya akhirnya enggak keterima di teknik. Akhirnya, saya mengambil D-3 di Unpad dan mengikuti saran ibu untuk kuliah ekonomi. Setelah lulus dari Unpad, saya kerja di perusahaan swasta sambil melanjutkan kuliah S-1 di Universitas Mercu Buana.
Setelah berkeluarga, saya memutuskan fokus mengurus rumah tangga. Namun, karena terbiasa kerja, agak berat juga kalau harus di rumah terus. Nah, kebetulan waktu itu IPB buka kesempatan dosen lulusan S-1 untuk dibina, disekolahkan, dikasih beasiswa. Saya coba daftar dan alhamdullilah keterima.
Waktu itu, yang dicari memang yang sudah berpengalaman kerja karena di sini D-3. Setelah itu, saya dapat beasiswa dan kuliah di Magister Akuntansi Universitas Indonesia. Ketertarikan saya dengan dunia pajak sebenarnya muncul pada saat kuliah di Unpad.
Bagaimana bisa muncul ketertarikan itu?
Jadi, dulu itu ada mata kuliah perpajakan. Saya melihat dosen saya kok keren ya. Kebetulan dosen-dosen waktu itu adalah pegawai DJP. Waktu itu, dosen saya bilang kalau mereka adalah pengumpul uang masyarakat untuk membiayai negara. Jadi, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi negara. Ini menarik.
Alhasil, tugas akhir saya tentang pajak. Kemudian, saat S-2, saya konsentrasinya di pajak. Saya mengambil mata kuliah yang diajar juga lebih banyaknya terkait dengan perpajakan. Kalau dipikir-pikir lagi, ibu saya menyarankan untuk masuk ekonomi, kejadian juga. Bapak saya nyuruh di IPB, tercapai juga walaupun bukan sebagai mahasiswa.
Adakah pengalaman menarik saat Anda terjun di dunia pendidikan pajak?
Saya senang ngajar pajak. Saya senang ketika minat anak-anak untuk belajar pajak itu tumbuh. Saya sangat senang kalau anak-anak yang saya ajar itu, tumbuh minat pajaknya da berkarier di dunia pajak. Artinya, ada keberhasilan dalam pengajaran.
Bagaimana pandangan Anda terkait dengan perpajakan Indonesia?
Ini kita lihat dari berbagai aspek ya. Kalau dari aspek administrasi dan sistem, saya melihatnya sudah makin baik. Jauh lebih baik. DJP juga melakukan pembaruan-pembaruan, seperti digitalisasi sehingga banyak sistem online. Ini artinya DJP mengikuti perkembangan zaman juga sehingga enggak tertinggal.
Dengan adanya sistem online ini, sistem perpajakan makin bagus. Jadi, bagaimana DJP mengupayakan sekecil mungkin celah bagi wajib pajak untuk tidak patuh. Misalnya, dengan berlakunya e-faktur, saya rasa akan mengurangi penggunaan faktur fiktif. Selain itu, ada juga integrasi dengan bank. Jadi, sistemnya sudah jauh lebih baik.
Menurut saya, yang perlu dioptimalkan lagi adalah sosialisasi dan pengawasan. AR sekarang memang fungsinya lebih banyak ke pengawasan. Namun, tetap diperlukan personel khusus untuk membantu wajib pajak ketika mencari informasi.
Kalau dari sisi kebijakan, sekarang ini banyak sekali aturan baru. Namun, ada juga aturan turunan yang tidak kunjung terbit. Situasi ini sering membuat wajib pajak bingung. Jadi, permasalahan bisa muncul terkait dengan aspek teknis di lapangan.
Bagaimana tax center dan akademisi bisa mengambil peran?
Tax center dan akademisi itu pasti perannya cukup besar, terutama untuk generasi muda sebagai wajib pajak masa depan. Saya melihat peran tax center dan akademisi seharusnya lebih banyak terkait dengan kesadaran pajak.
Jadi, bagaimana tax center ini sebagai wadah bagi wajib pajak untuk berkonsultasi, selain kepada petugas pajak. Dengan demikian, tax center juga menjadi wadah bagi mahasiswa untuk mempraktikan ilmu pajak yang mereka dapatkan di perkuliahan. Tax center berperan lebih ke wajib pajaknya.
Sementara untuk akademisi, saya melihat perannya lebih terkait dengan pengembangan atau pemberian masukan sistem perpajakan yang lebih baik. Jadi, tax center lebih banyak turun langsung dan berhubungan dengan wajib pajak. Akademisi lebih banyak ke riset dan pengembangan.
Artinya kegiatan riset menjadi bagian penting dalam peran tersebut…
Iya, penting. Sebenarnya, tax center juga perlu melakukan riset. Misalnya, akademisi meriset sistem perpajakan di negara-negara lain yang sudah bagus. Bisa dilihat dari tax ratio-nya. Akademisi bisa membandingkan apa saja strategi dalam peningkatan tax ratio dan kesadaran pajak.
Nah, itu dipelajari dan kitab awa ke konteks Indonesia. Bisa diterapkan atau tidak. Nah, di sinilah perannya tax center. Apalagi, tax center kan seharusnya lebih dekat dengan wajib pajak. Artinya, lebih tahu kondisi yang ada di dalam negeri. Selain itu, tax center juga bisa membantu dalam sosialisasi.
Dengan adanya PERTAPSI, apa harapan Anda?
Saya melihat PERTAPSI ini jadi wadah ya. Wadah bagi tax center seluruh Indonesia itu bersinergi. Harapan saya, PERTAPSI sendiri bukan hanya sebagai perpanjangan DJP, melainkan juga dapat menjadi perpanjangan tangan dari wajib pajak. Artinya, PERTAPSI sebagai perantara antara DJP dan wajib pajak.
Selain itu, dengan adanya PERTAPSI, semua tax center yang ‘mati suri’ bisa kembali aktif. Mereka bisa berguru dengan tax center lain yang sudah maju untuk melihat apa saja yang perlu dilakukan. Jadi, bukan bermaksud untuk bersaing, melainkan bersinergi dalam PERTAPSI.
Apa harapan Anda untuk perpajakan Indonesia ke depan?
Kalau untuk sistem, sudah lebih baik. Saya lebih tertarik tentang literasi pajak. Kalau menurut saya, dari sedini mungkin kita ajarkan apa itu pajak. Konsep zakat dan sedekah kan sudah diajakan pula dari kecil. Kenapa kita enggak sekalian ngajarin konsep pajak?
Ini penting agar mereka [genarasi muda] tidak kaget setelah terjun ke dunia kerja dan mempunyai kewajiban pajak. Artinya, dengan literasi sejak dini, ada potensi untuk memunculkan kesukarelaan mereka untuk membayar pajak. Jadi, tidak lagi menganggap itu sebagai beban.
Harapan saya, literasi pajak ini terus ditingkatkan. Apalagi, dengan era digitalisasi saat ini, banyak sarana yang dapat dipakai untuk meningkatkan literasi. Misalnya, menggunakan media sosial. Kita perlu menumbuhkan kesadaran pajak dari sekarang. (kaw)
Data Singkat
Aulia Hidayati, S.E., M.Ak.
Profesi
Pengajar Program Studi Akuntansi Sekolah Vokasi IPB
Pendidikan
Organisasi