MENDAPAT tantangan untuk mendirikan tax center, dia berusaha keras mencari informasi. Hingga pada akhirnya, tax center itu berdiri dan memberi dampak positif, baik bagi internal kampus maupun masyarakat sekitar.
Saat mengelola tax center, dia menerapkan prinsip pajak sebagai multidisiplin ilmu. Oleh karena itu, dia juga melibatkan mahasiswa-mahasiswa dari berbagai jurusan atau bidang. Tidak hanya akuntansi dan pajak, tetapi juga komunikasi, psikologi, dan sebagainya.
Dia adalah Ketua Bidang Kerja Sama Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) Beny Susanti.
PERTAPSI menjadi nama baru dari Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (ATPETSI). Perkumpulan ini merupakan satu-satunya wadah bagi tax center dan akademisi pajak di Indonesia yang mandiri dan membentuk badan hukum.
DDTCNews berkesempatan mewawancarai sosok yang akrab dipanggil Santi tesebut secara daring. Wawancara lebih banyak memperbincangkan keprofesian, tax center, serta pandangannya terkait riset perpajakan. Berikut kutipannya:
Apa kegiatan sehari-hari Anda terkait keprofesian?
Sampai sekarang, saya masih menjadi dosen tetap di Universitas Gunadarma. Saya mengajar beberapa mata kuliah, seperti perpajakan, perangkat lunak aplikasi akuntansi, serta akuntansi pajak. Selain itu, saya juga mengelola tax center.
Untuk tax center, kami melibatkan mahasiswa-mahasiswa yang sudah dilatih menjadi relawan pajak. Kami membantu para wajib pajak yang datang ke tax center. Jadi, tax center itu selalu buka dan ada yang stand by di ruangan untuk membantu wajib pajak.
Bagaimana perjalanan Anda hingga akhirnya aktif menjadi dosen, terutama pada bidang perpajakan?
Saya itu enggak punya background pajak di dalam keluarga. Orang tua dan kakak-kakak saya lebih banyak pada bidang kesehatan. Saya dulu juga jurusan fisika. Dalam perjalanan waktu, saya mencoba mengambil bidang lain, yakni ekonomi.
Saya SMA di daerah di Pekanbaru. Setelah lulus, saya coba kuliah di Gunadarma. Di Gunadarma, alhamdullilah, saya dapat beasiswa. Kemudian, saya lanjut ngambil jurusan akuntansi. Saya enggak ngebayangin itu pajak. Pajak hanya ada di dalam beberapa mata kuliah.
Namun, ketika belajar masalah pajak saya kok cepat ngertinya. Menarik juga. Ini karena ternyata pajak tidak hanya bicara angka-angka. Kita juga bicara kebijakan, perilaku, dan sebagainya. Komplet. Setelah lulus, saya berkesempatan lagi mendapat beasiswa dari Gunadarma. Saya ambil lagi.
Saat masih mahasiswa, saya mendaftar di laboratorium perpajakan. Dari situ saya mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri. Waktu itu, saya membuat aplikasi untuk menghitung PPh Pasal 21. Karena dulu saya dari fisika, rasa-rasanya logika pemograman masih bisa lah.
Saya enggak ngebayangin jadi dosen. Saya dulu kerja di bank. Namun, dalam perjalanan, saya enggak mau ninggalin kampus. Saya juga merasa enjoy dengan pajak. Ya mungkin passion ya. Dari situ, saya berpikir banyak cara bantu orang dengan menekuni bidang pajak.
Orang enggak bisa lapor pajak, saya bantu. Pada saat saya kerja jadi staf di Universitas Gunadarma, ketika dosen-dosen mau lapor pajak, saya bantu. Saya bantu membawa berkas ke kantor pajak. Saya laporkan secara kolektif. Setelah itu, kalau sudah mau lapor SPT, saya dicari.
Terkait dengan tax center, bagaimana cerita pembentukannya?
Awal mulanya Dekan Fakultas Ekonomi itu manggil saya dan bilang, “Bu Santi, ini ada masukan dari alumni, kok Gunadarma sudah sebesar ini enggak punya tax center. Padahal tax center itu penting.” Dari situ, saya ditantang untuk membentuk tax center.
Awalnya saya bilang mungkin karena kita enggak punya program studi perpajakan sehingga tax center dirasa antara perlu dan enggak perlu. Ini karena saya melihat biasanya tax center melekat di program studi perpajakan. Kita kan enggak punya.
Setelah itu, saya mencari informasi. Saya orangnya kalau dikasih kesempatan akan berusaha seoptimal mungkin. Pada suatu waktu, memang sudah jalannya ya, tiba-tiba ada undangan terkait dengan seminar pajak yang diselenggarakan di Kantor Pusat [Ditjen Pajak].
Salah satu pembicaranya adalah Prof John [saat ini juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina PERTAPSI]. Prof John membicarakan terkait dengan peranan tax center. Wah ini tepat saya datang seminar karena saya sudah ditugaskan mencari informasi mengenai tax center.
Setelah selesai acara, saya menghampiri ke Prof John dan menyampaikan rencana pembentukan tax center. Setelah itu, stafnya langsung menghubungi saya. Kebetulan Gunadarma masuk cakupan Kanwil Jawa Barat (Jabar) II waktu itu.
Waktu itu, Kanwil Jabar II sudah terlalu besar sehingga mau pemecahan. Saya disuruh menunggu. Singkat cerita, Kanwil Jabar III berdiri. Setelah itu, Universitas Gunadarma langsung [menandatangani] MoU [terkait dengan tax center].
Ide-ide terkait dengan tax center ini terwujud juga karena dukungan kampus. Dengan adanya tax center, internal kampus merasa terbantu. Dosen enggak perlu pusing lagi ke kantor pajak untuk lapor pajak. Dosen enggak perlu kebingungan lagi bagaimana cara lapor pajak. Ada tax center.
Jadi, saat itu pun saya berpikir harus meng-upgrade pengetahuan. Selain itu, saya enggak bisa sendiri. Waktu itu, saya ajak 3 mahasiswa, 2 dari ekonomi dan 1 IT (information technology). Mengapa anak IT? Karena pajak juga bicara teknologi, seperti sistem online dan lainnya.
Alhamdullilah, kampus melihat apa yang saya lakukan itu memberikan value dan impact positif. Minimal, masalah pajak internal terselesaikan sehingga langkah saya ke depan benar-benar didukung. Di situlah, saya melihat pimpinan kampus mempunyai komitmen tinggi.
Hasilnya, pada tahun kedua berdiri, tax center sudah mendapatkan penghargaan. Setelah itu, saya libatkan lebih banyak lagi mahasiswa. Mereka juga semangat sehingga tax center bisa terus berkembang sampai sekarang.
Artinya peran yang telah dirasakan cukup penting membuat tax center berkembang …
Saya bilang ke teman-teman, tax center itu harus terlibat dalam menyelesaikan masalah-masalah pajak, terutama internal. Kita bantu. Kenapa? Tiap orang yang berpenghasilan dan punya NPWP pasti akan berhadapan dengan urusan pajak.
Saya juga pakai email blast di kampus. Setiap ada informasi dan perkembangan pajak di luar, saya bawa masuk ke kampus melalui email blast. Jadi, kebutuhan informasi pajak bisa terpenuhi. Ini membuat posisi tax center makin diperhitungkan. Tentu saja juga ada dukungan dari pimpinan.
Apakah hanya untuk melayani internal?
Masyarakat umum juga banyak. Pelaku UMKM juga ada.
Bagaimana perlakuan yang diberikan untuk pelaku UMKM?
Untuk UMKM, kita harus memberikan ruang tersendiri. Saya melihat, semuanya di mereka. Mulai dari mencari ide, memasarkan produk, mengolah produk, dan sebagainya. Artinya, mereka juga butuh bantuan dari kita.
Saat saya bicara ke pelaku UMKM, saya tidak bicara pajak. Saya bicara tentang kebutuhan mereka dan hal-hal yang perlu dibantu. Saat saya mengadakan pelatihan, saya siapkan lapak untuk mereka sehingga bisa bertransaksi.
Sederhananya, pelaku UMKM belajar atau ikut workshop. Mahasiswa yang menjaga [barang] jualan mereka. Dari sini, mahasiswa juga belajar bertransaksi. Kemudian, saya undang juga dosen-dosen yang ingin membeli barang, termasuk makanan-makanan.
Jadi, kami menciptakan pasar sehingga pelaku UMKM merasa ikut program tax center enggak rugi. Ada transaksi. Dalam pikiran mereka itu bagaimana omzet bisa meningkat. Kami masih terus membina para pelaku UMKM ini.
Tax center di Universitas Gunadarma cukup aktif. Apakah ada kendala yang pernah dihadapi?
Kalau kendala banyak. Namun, kalau saya, bagaimana kita melihat kendala. Kita perlu melihat kendala itu sebagai sebuah tantangan. Selalu ada solusi. Enggak ada masalah yang krusial. Paling hanya persoalan mencocokkan jadwal. Apalagi, deadline atau jatuh tempo pajak kan harus dipatuhi.
Bagaimana Anda melihat perpajakan di Indonesia saat ini?
Kita lihat dari sisi sistem administrasi perpajakan, makin ke sini makin baik. Saya melihat perubahan-perubahan yang terjadi. Dulu, kalau mau memperoleh NPWP dan lapor SPT itu harus datang ke kantor pajak. Belum lagi kalau tempatnya jauh. Sekaran itu banyak saluran online sehingga memudahkan.
Di kantor pajak pun kualitas pelayanan yang kita peroleh sudah sama seperti saat kita ke bank. Mulai dari orang-orangnya saat kita masuk ke kantor pajak, sarana-prasarana, dan lainnya sudah baik. Dengan pembaruan sistem dan perubahan-perubahan, persepsi orang terhadap pajak jadi terbuka.
Nah, dengan adanya sistem yang baik atau menuju baik, apakah bisa terlaksana secara keseluruhan? Menurut saya, ini juga perlu pihak-pihak lain. Pajak itu merupakan pilar utama, tetapi harus disokong berbagai pihak, termasuk tax center dan akademisi. Ini juga terkait dengan kegiatan riset.
Ibarat pohon besar, kalau akarnya kuat disokong oleh kekuatan yang luar biasa, saya yakin dia akan memberikan kenyamanan untuk kita semua.
Saya coba terapkan dari bentuk inkubator kecil saja, di tax center. Saya rekrut mahasiswa dari berbagai program studi untuk menjadi relawan pajak. Ada dari arsitektur, agroteknologi, ekonomi, akuntansi, manajemen, komunikasi, psikologi, dan lainnya.
Artinya apa? Ada kekuatan yang luar biasa. Dengan ilmunya masing-masing, semua orang ini bersinergi. Dari sini kita melihat pajak juga perlu disokong dengan berbagai pengetahuan. Kita tidak hanya bicara prinsip ekonomi, tetapi juga perilaku dan moral. Banyak faktor.
Anda menyebut riset. Seberapa penting kegiatan riset untuk perkembangan perpajakan ke depan?
Menurut saya, riset itu sangat penting karena dapat memberikan informasi awal bukti-bukti secara empiris yang sudah diuji. Dengan riset, kita bisa memberikan informasi yang detail kepada pengampu kepentingan. Apalagi dari sisi akademisi, riset tentu sangat penting.
Saya jadi teringat riset DDTC kemarin tentang UMKM. Itu luar biasa. Itulah potret sesungguhnya di lapangan. Kita bisa melihat kondisi UMKM dan yang mereka butuhkan. Hasil riset tentu bermanfaat untuk membuat strategi, keputusan, dan kebijakan.
Jadi, riset benar-benar dibutuhkan. Kenapa? Karena kita akan berkembang terus. Jadi, perkembangan kebijakan yang dibuat pemerintah tentu harus dengan bukti-bukti empiris dari hasil riset. Bisa mendekati kenyataan sesungguhnya. Jadi, kebijakan itu ada dasarnya. Ada landasannya.
Bagaimana perkembangannya di Indonesia?
Kalau kita lihat perkembangan riset perpajakan di Indonesia ya tidak seperti di negara-negara lain. Mungkin salah satu yang sering saya lihat dan sering dikeluhkan teman-teman itu adalah masalah data. Ini salah satu yang menghambat karena adanya keterbatasan.
Selain itu, menurut saya, salah satu yang mungkin juga berpengaruh adalah publikasi. Tidak adanya publikasi yang memadai menyebabkan riset tadi kelihatan tidak berkembang. Sebenarnya juga sudah banyak yang melakukan riset. Mahasiswa pajak pasti risetnya terkait dengan pajak.
Di sisi lain, bagaimana kualitas risetnya? Kalau kita searching, wah itu banyak sekali, terutama terkait dengan tax compliance. Padahal, kita membutuhkan hal yang lain lagi sehingga ada kebaruan. Itu menurut saya juga dipengaruhi kendala atau persoalan data tadi.
Beberapa waktu sebelumnya kita sudah sampaikan ke DJP terkait dengan perolehan data. Ya itu tadi, karena [ketentuan mengenai] kerahasiaan. Namun, teman-teman di DJP seharusnya bisa juga melakukan kolaborasi riset. Artinya, data dari internal dan akademisi bisa dikolaborasikan dalam riset.
Dalam konteks tersebut, bagaimana peran PERTAPSI?
Kalau kita lihat, PERTAPSI itu sudah berubah ya. Dari ATPETSI menjadi PERTAPSI. Tidak hanya tax center, tetapi juga termasuk akademisi. Tentu saja akademisi tidak bisa jauh dari riset. Dari sinilah nanti PERTAPSI akan mencoba mendorong riset-riset perpajakan agar lebih berkembang lagi.
Di bawah komando Pak Darussalam [Ketua Umum PERTAPSI], saya yakin PERTAPSI juga akan memiliki andil yang besar karena beliau sangat perhatian dengan riset. Salah satu visi-misi di PERTAPSI juga demikian, yakni mengembangkan riset-riset perpajakan. (kaw)
Data Singkat
Dr. Beny Susanti, S.E., M.M.
Pengalaman Kerja
Penghargaan