KETUM GP JAMU INDONESIA DWI RANNY PERTIWI ZARMAN

'Saya Selalu Berpesan untuk Mengutamakan Punya NPWP'

Dian Kurniati
Minggu, 15 Mei 2022 | 09.00 WIB
ddtc-loader'Saya Selalu Berpesan untuk Mengutamakan Punya NPWP'

PANDEMI Covid-19 nyatanya turut memengaruhi kinerja industri jamu dan obat tradisional. Meski pandemi membuat masyarakat lebih peduli pada kesehatan, kondisi itu tidak serta merta meningkatkan penjualan jamu.

Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha (GP) Jamu dan Obat Tradisional Dwi Ranny Pertiwi Zarman, sebagian industri jamu tengah menghadapi penurunan penjualan karena lemahnya daya beli masyarakat.

Meski demikian, pandemi dinilai menjadi momentum untuk memajukan jamu di Indonesia. Hal itu salah satunya dilakukan dengan mengajukan jamu dalam nominasi Warisan Tak Benda Dunia Unesco 2022, pada Februari lalu.

Kepada DDTCNews, Ranny menjelaskan upaya pemulihan pada industri jamu sejauh ini. Dia juga terus mendorong pelaku industri jamu menjalankan bisnisnya dengan baik dan patuh membayar pajak. Berikut petikannya.

Bagaimana kinerja industri jamu pada saat ini?
Saat ini kondisinya sedang kurang bagus, walaupun orang bilang pandemi mungkin sudah mulai membaik dalam 2 bulan ini. Memang ada yang bagus, stabil, atau naik, tetapi banyak juga yang pembelinya jadi berkurang.

Kehidupan orang ketika tidak ada pandemi tentunya berbeda pada saat Covid sedang tinggi-tingginya. Sekarang kendalanya daya beli masyarakat yang kurang. Harga bahan baku juga hampir sebagian besar naik, tetapi kami tidak bisa menjual dengan harga tinggi.

Kalau daya beli kurang. tetapi harganya dinaikkan kan repot sekali. Apalagi pada bulan-bulan ini, orang sedang persiapan untuk biaya sekolah dan Lebaran. Pasti kalau untuk kebutuhan yang tidak terlalu urgent. Masyarakat tidak mau beli.

Apa saja yang perlu dilakukan untuk mendorong kinerja penjualan produk jamu?
Secara umum, stok itu masih banyak di industri-industri. Namun, karena daya beli kurang, jadi belum terjual. Mungkin promosi yang harus kuat. Apalagi, sekarang kan lebih banyak penjualan online.

Saya juga mengimbau [anggota] agar ada anggaran yang disisihkan untuk promosi dan iklan. Kita bisa memanfaatkan promosi dengan biaya yang tidak besar. Promosi ini penting supaya masyarakat mengingat produk kita. Sebab, tentu ada juga yang belum tahu.

Bukankah jamu sudah memiliki citra yang baik?
Betul. Jamu itu sekarang makin kuat image-nya untuk pengobatan alami. Tapi tetap perlu usaha agar jamu makin dikenal masyarakat. Apalagi sekarang ini, jamu baru lolos dikirim ke Unesco untuk disahkan sebagai warisan budaya Indonesia.

Prosesnya itu dari tahun lalu. Untuk persiapan dokumen-dokumen. Yang diinginkan Unesco adalah kisah jamu dari awal mbok jamu di masa lalu, dan komunitas-komunitasnya.

Makanya kami buatkan data mereka dari berbagai kota sampai dengan dibikinkan film. Sebab, situasinya dunia sedang sakit kemarin membutuhkan kesehatan maka jamulah yang diloloskan dari Indonesia untuk ke Unesco.

Itu sebetulnya perkembangan yang bagus karena sekarang masyarakat juga bisa membuat jamu sendiri dengan banyak edukasi video di Youtube dan lain-lain.

Kami juga menyampaikan dalam kondisi pandemi Covid, jangan tunggu sakit baru berobat. Jagalah kesehatan supaya tidak sakit. Caranya dengan menjaga stamina, minum jamu, dan lain sebagainya.

Pembuatan jamu yang sederhana bisa dilakukan di rumah. Untuk bahannya juga bisa ditanam sendiri dengan memanfaatkan lahan kosong.

Apabila ditetapkan oleh Unesco, apa manfaatnya bagi industri jamu Indonesia?
Pertama, jamu akan dikenal sebagai jamu, bukan herbal. Di sini, kata jamu tidak bisa diganti dengan kata yang lain.

Kemudian, jamu dari Indonesia akan tercantum di website-nya Unesco. Ini akan memberikan image untuk jamu, tidak bisa lagi dipandang sebelah mata oleh sebagian orang atau mungkin dokter yang memandang remeh jamu.

Kenyataannya masyarakat dunia memerlukan jamu karena tidak semua orang mau minum obat kimia. Orang tetap sehat dengan minum jamu.

Jika jamu masuk ke Unesco, kita juga punya kewajiban untuk terus melestarikannya. Tidak boleh sekadar sudah mendapat sertifikat. Kita harus melakukan program agar perkembangan jamu makin maju ke depan karena ini akan dipantau terus oleh Unesco paling tidak 2 tahun setelahnya.

Saya senang bahwa pemahaman jamu itu pahit sudah berubah sekarang dengan banyaknya cafe jamu yang bertebaran di mana-mana. Bagaimana mengolah rempah-rempah menjadi produk yang bisa disukai berbagai kalangan, termasuk anak-anak dan milenial.

Bagaimana karakteristik skala usaha industri jamu di Indonesia saat ini?
Industri jamu yang terdaftar di BPOM dan Kemenkes total sekitar 1.200 pengusaha. Mungkin yang aktif 900-an. Tetapi masih banyak yang belum menjadi anggota. Anggota kami sekitar 500 pengusaha.

Untuk kategorinya, IOT (industri obat tradisional) UKOT (usaha kecil obat tradisional), dan UMOT (usaha mikro obat tradisional). IOT ini yang besar-besar, seperti Jamu Borobudur, Sidomuncul, dan lain-lain. Mereka harus sudah punya sertifikat lengkap. Kalau yang lain, kebanyakan skalanya lebih kecil.

Apa yang menjadi kendala bagi industri jamu untuk naik tingkat?
Umumnya di sarana, terutama sarana fisik karena ini cost-nya besar. Misal, saya punya bangunan tidak besar, tetapi sudah bagus. Cuma tetap saja, kalau dulu ruangan itu biasanya pakai AC. Setelah digunakan, AC dimatikan.

Tapi peraturan sekarang tidak seperti itu. Jadi harus pakai HVAC untuk dapat sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik). Untuk pemasangan itu perlu cost yang lumayan. Bisa sampai Rp200 juta-Rp300 juta.

Setelah itu, mengenai urusan sertifikat juga sulit. Begitu masuk sertifikat ketiga, biasanya sudah mentok semua karena dananya besar.

Selain itu, ada ketentuan promosi yang agak sulit karena kami tidak bisa berjualan dengan kata-kata promosi tertentu. Misal, masuk musim hujan kami tulis, "Masuk musim hujan, jaga kesehatan dengan minum jamu", itu tidak boleh.

Ini memberatkan. Sebab, faktanya kami harus bersaing dengan obat herbal impor yang mereka bisa klaim macam-macam karena tidak diatur. Jadi memang ada banyak unsur. Dari iklan, proses produksi, hingga regulasinya.

Pemerintah sempat menawarkan insentif supertax deduction untuk pengembangan jamu, menurut Anda?
Sebetulnya sih insentif ini memang perlu. Cuma kadang-kadang, teknisnya ini bagaimana? Saya juga belum begitu memahaminya.

Insentif yang bisa dirasakan langsung dirasakan itu ketika Bu Sri Mulyani memberikan pekerja insentif subsidi gaji. Alhamdulillah itu bagus sekali. Selebihnya, seperti program bantuan atau pinjaman. Mungkin itu banyak yang mengambil.

UU HPP mengatur omzet tidak kena pajak senilai Rp500 juta pada UMKM, bagaimana pandangan Anda?
Menguntungkan. Industri umumnya masih banyak yang UMKM, yang penghasilannya bisa sebulan puluhan juta atau Rp100 juta. Kalau ada aturan tak kena pajak, akan menguntungkan sekali. Bagus itu, saya suka.

Kami kan juga sedang mendidik usaha-usaha yang baru mulai. Ketika mereka belum berbadan hukum. Nah, saya selalu berpesan kepada teman-teman untuk mengutamakan punya NPWP.

Bagaimana pandangan Anda tentang kepatuhan pajak industri jamu?
Kalau perusahaan-perusahaan besar umumnya mereka punya bidang pajaknya sendiri, termasuk saya. Ya sudah kita jalani saja. Saya juga sering mengingatkan agar mereka membayar pajak dengan benar dan hati-hati ketika menghitungnya.

Misal, satu perusahaan harus melaporkan produksi 1 juta, tetapi yang dilaporkan hanya 500.000-600.000 barang. Saya mengingatkan ini bahwa itu bisa dipantau keberadaannya lewat pembelian barangnya.

Kalau terpantau oleh pihak pajak, apa kalian tidak kena denda? Saya selalu bilang begitu.

Sekarang ada program pengungkapan sukarela, apakah pengusaha jamu banyak yang ikut?
Saya belum bertanya [kepada anggota]. Namun, menurut saya banyak yang ikut karena itu untuk kepentingan kita juga.

Apa kesibukan Anda selama pandemi Covid-19?
Karena saya di bidang obat tradisional, selama pandemi kita boleh tidak tutup. Kami tetap berjalan seperti biasa. Cuma mengikuti protokol kesehatan saja. Untuk kegiatan GP Jamu juga pada akhirnya lebih banyak yang online selama pandemi.

Namun, belakangan ini ada undangan offline. Ya saya datang juga. Karena, pertemuan-pertemuan itu selalu ada. Biasanya yang hadir Kemenperin, Kemenkes, dan BPOM. Nanti hasil pertemuannya saya sampaikan kepada anggota. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.