David Susanto,
MASALAH sampah plastik kini menjadi tantangan besar bagi banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Indonesia menghasilkan sekitar 7,8 juta ton sampah plastik setiap tahunnya. Tantangan sampah plastik memerlukan respons nasional yang kuat untuk mengekang dampak signifikan terhadap lingkungan, masyarakat, dan ekonomi (World Bank, 2021).
Salah satu respons yang sejatinya patut dipertimbangkan adalah penggunaan instrumen cukai. Terlebih, beberapa negara Asean, seperti Filipina dan Vietnam, telah mengambil langkah proaktif dengan menerapkan cukai plastik untuk mengendalikan konsumsi plastik dan meminimalisasi dampak lingkungan yang diakibatkannya.
Di Indonesia, kebijakan cukai plastik sejatinya sudah masuk dalam rencana pemerintah sejak 2016, bahkan beberapa kali telah diajukan dan disetujui DPR. Namun, implementasi kebijakan ini hingga saat ini masih ditunda. Otoritas fiskal, termasuk Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), beberapa kali menyebut bahwa pemerintah mempertimbangkan perkembangan situasi perekonomian.
Sayangnya, volume sampah plastik kian meningkat tiap tahunnya. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan bahwa jumlah timbunan sampah plastik nasional per 2022 mencapai 21,1 juta ton dengan pertumbuhan tahunan sebesar 6%-7%. Kenaikan volume sampah plastik menimbulkan permasalahan bagi lingkungan dan kesehatan manusia di sekitarnya.
Pada dasarnya, siklus hidup plastik, dari produksi hingga pembuangan, berkontribusi pada emisi karbon yang berbahaya. Pada akhirnya, sampah plastik tidak hanya berpotensi menipiskan lapisan ozon tetapi juga menghasilkan mikroplastik yang merusak ekosistem laut dan mencemari rantai makanan manusia. Misal, ikan terkontaminasi mikroplastik berbahaya jika dikonsumsi manusia.
Direktur Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Emil Budianto mengatakan timbunan sampah plastik menyimpan kandungan karbon dan hidrogen yang akan berkumpul pada sisa-sisa makanan. Ketika sampah plastik tersebut tersulut api, campurannya akan memproduksi zat dioksin dan zat furan yang berisiko menyebabkan penyakit serius, bahkan kematian.
Dengan memahami dampak nyata dari sampah plastik tersebut, pengenaan cukai seharusnya tidak ditunda lagi. Presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, perlu memastikan setiap kementerian/lembaga terkait mempunyai tujuan yang sama mengenai isu sampah plastik. Terlebih, dalam pengenaan cukai plastik, kajian dari KLHK juga berperan strategis.
Solusi konkret yang dapat diterapkan di era pemerintahan baru bisa dimulai dari tahap pengajuan ulang kebijakan. Otoritas fiskal perlu mengajukan kembali usulan ini ke DPR. Pada saat bersamaan, KLHK perlu mempercepat kajian. Selain itu, DJBC perlu melakukan survei willingness to pay pada masyarakat terkait dengan pengenaan cukai ini.
Meskipun pungutan kantong plastik sudah diterapkan pada 2016 hingga 2021, survei kepada masyarakat tetap penting untuk memperoleh informasi terbaru yang relevan bagi pengambilan keputusan. Setelah proses pengajuan dan kajian selesai, DJBC harus mempertimbangkan strategi implementasi yang optimal.
KARENA tujuan utama kebijakan ini adalah mengurangi konsumsi berlebihan plastik, langkah strategis perlu diambil untuk mengubah perilaku masyarakat. Dalam DDTC Working Paper bertajuk Komparasi Objek Cukai secara Global dan Pelajaran bagi Indonesia, kebijakan cukai atas plastik juga harus didukung oleh perilaku produsen plastik dalam melakukan pengolahan limbah secara benar.
Salah satunya adalah penggunaan konsep daur ulang atau program ramah lingkungan lainnya yang sesuai dengan Extended Producer Responsibility (EPR). Adapun tujuan diberlakukannya EPR adalah untuk meningkatkan intensitas pengumpulan dan daur ulang serta mengubah tanggung jawab finansial dari pemerintah kepada produsen sehingga mendapatkan insentif (Kristiaji et al., 2019).
Dalam konteks tersebut, menurut penulis, perlu juga diperkenalkan konsep Reduce, Reuse, Recycle (3R) melalui kementerian/lembaga yang relevan. Kebijakan nonfiskal semacam ini telah terbukti efektif di negara-negara lain, seperti China. Kebijakan ini juga bisa dipakai menjadi langkah awal sebelum implementasi cukai plastik dimulai.
Kebijakan nonfiskal tersebut harus diambil alih oleh KLHK. Adapun KLHK bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah dan organisasi lingkungan untuk mengubah perilaku masyarakat secara bertahap. Program ini harus diimplementasikan setidaknya selama satu tahun setelah disetujui oleh DPR pada 2025. Hal ini untuk menghindari shock di tengah masyarakat saat kebijakan cukai plastik mulai diberlakukan.
Setelah strategi nonfiskal diterapkan, DJBC dapat mempertimbangkan dua opsi implementasi cukai plastik: secara langsung atau bertahap. Jika efek kebijakan nonfiskal tidak sesuai harapan, pendekatan bertahap bisa menjadi pilihan lebih bijak. Adapun implementasi ini dapat dibagi dalam tiga fase.
Fase pertama mencakup wilayah dengan populasi terbesar, seperti DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Jawa Barat. Fase kedua memperluas penerapan berdasarkan pada populasi terbaru di provinsi lainnya. Kemudian, fase ketiga merupakan implementasi serentak setelah evaluasi dari dua fase awal. Artinya, evaluasi atas setiap fase menjadi bagian penting.
Selain itu, DJBC perlu mempertimbangkan kenaikan tarif cukai plastik secara bertahap untuk mencegah perilaku balik (reverse behaviour) di masyarakat, yang dapat mengurangi efektivitas kebijakan ini. Strategi implementasi yang matang harus dipersiapkan untuk menghindari penundaan di tengah tren peningkatan sampah plastik dan tekanan organisasi dunia.
Selain itu, pengenaan cukai tidak bisa digeneralisasi pada semua jenis plastik. Pemerintah harus melihat secara spesifik. Inggris misalnya, mengelompokkan jenis plastik yang perlu ditekan konsumsinya, yakni pointless plastic, replaceable plastic, dan problem plastic. Ada dua kategori plastik yang dipertahankan, yakni harder to replace plastic dan essential plastic (Kristiaji et al., 2019).
Pada akhirnya, sudah saatnya bagi perpajakan Indonesia untuk memasuki babak baru. Dalam konteks ini, fungsi regulerend (pengaturan) lebih diberdayakan, terutama melalui kebijakan cukai plastik. Langkah ini tidak hanya menegaskan komitmen Indonesia terhadap lingkungan, tetapi juga menjadi pijakan penting dalam reformasi perpajakan yang lebih holistik dan berkelanjutan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.