Agustinus Imam Saputra,
PADA 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) menyatakan Covid-19 sebagai pandemi yang berdampak pada seluruh negara di dunia.
Pandemi menjadi ancaman nyata yang tidak hanya memengaruhi sektor kesehatan, tetapi juga mendisrupsi aspek sosial, ekonomi, dan keuangan. Efek nyata itu salah satunya berupa penurunan ekonomi di banyak negara, termasuk Indonesia.
Pada 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan tumbuh negatif 2,07%. Pada April 2020, ada 59 negara yang memberlakukan travel ban dan total border shutdown. Selain itu, sebanyak 85 negara memberlakukan partial border shutdown.
Namun, sesuai dengan hasil survei wisatawan nasional (outbond) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat pelintas batas sebanyak 2,92 juta perjalanan pada masa pandemi 2020 dengan tujuan berbagai negara di luar negeri.
Angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan posisi pada 2019 yang tercatat sebanyak 11,69 juta perjalanan orang Indonesia ke luar negeri. Persentase perjalanan ke luar negeri dilakukan untuk tujuan liburan (vacation) sebesar 45,42%. Terbesar kedua adalah kunjungan keluarga.
Oleh sebab itu, dapat dikatakan sekitar 5,2 juta perjalanan bertujuan untuk liburan ke luar negeri pada 2019. Kemudian, rata-rata waktu yang dihabiskan di 11 negara tujuan utama adalah 6 hari dengan pengeluaran rata-rata US$1.515 atau setara dengan Rp21 juta per individu.
Tentu saja menarik untuk menyelisik jumlah perjalanan ke luar negeri yang dilakukan penduduk Indonesia. Pelancong yang bepergian ke negara lain itu dapat diidentikkan pada kategori individu “the have” karena memiliki sumber daya yang cukup untuk “luxurious spending”.
World Wealth Report 2019 yang diterbitkan Capgemini Financial Services menyatakan jumlah orang kaya Indonesia (high wealth individual/HWI) dengan kekayaan bersih melebihi US$1 juta mengalami peningkatan cukup signifikan. Peningkatan tersebut terjadi pada sekitar 134.000 orang.
Lebih lanjut, suatu lembaga konsultan berbasis di Inggris Knight Frank (2021) memproyeksi Indonesia akan mengalami pertumbuhan jumlah orang kaya yang tertinggi di dunia, yaitu sekitar 67% per tahun sampai dengan 2025.
Jumlah dan pertumbuhan kekayaan dari orang-orang pribadi tersebut tentunya merupakan peluang dan potensi yang harus dimanfaatkan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Di sisi lain, pada 2019, pajak penghasilan (PPh) wajib pajak orang pribadi senilai Rp29,27 triliun atau sebesar 2,2% dari total penerimaan negara senilai 1.332 triliun.
Angka tersebut relatif kecil dan harus ditingkatkan jika melihat data penduduk Indonesia yang bepergian ke luar negeri dan proyeksi lembaga internasional.
USAHA penggalian potensi penerimaan pajak pada kelompok HWI dapat dimulai dengan memetakan pelancong yang sering ke luar negeri. Pemetaan dilakukan dengan pemanfaatan compliance risk management (CRM).
Berdasarkan pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-39/PJ/2021, CRM adalah suatu proses pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak yang dilakukan secara terstruktur, terukur, objektif dan berulang dalam rangka mendukung pengambilan keputusan terbaik DJP.
Proses itu meliputi tahapan kegiatan persiapan, penetapan konteks, analisis risiko, strategi mitigasi risiko dengan menentukan pilihan perlakuan (treatment), serta monitoring dan evaluasi atas risiko kepatuhan.
Teknologi data dan informasi tidak lagi berperan sebagai pendukung dalam pemungutan penerimaan pajak, tetapi sebagai pusat (core) dalam reformasi perpajakan. CRM yang dibangun untuk wajib pajak kelompok HWI dapat dikembangkan dengan memanfaatkan data pelintas batas.
Adapun data pelintas batas dari Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) itu disandingkan dengan data pengeluaran (spending) berdasarkan data survei wisatawan nasional (outbond).
Berdasarkan pada PMK 228/PMK.3/2017, data perlintasan yang bersumber dari Ditjen Imigrasi merupakan data eksternal prioritas yang memiliki peran penting dalam kegiatan ekstensifikasi perluasan basis data pemajakan.
Data eksternal prioritas adalah data eksternal yang menjadi prioritas pengolahan dalam suatu periode pengolahan data serta disusun berdasarkan pada hasil analisis atas rencana pemanfaatan data eksternal.
Data perlintasan yang tersedia dapat disandingkan dengan data survei wisatawan nasional (outbond) dari BPS. Hasil survei tersebut mencakup jumlah wisatawan Indonesia ke luar negeri, negara tujuan, tujuan perjalanan, dan total pengeluaran (spending).
CRM diharapkan dapat menangkap individu dengan profil frekuensi perjalanan ke luar negeri yang tinggi dan destinasi utama negara dengan reputasi tujuan wisata berbelanja.
PEMANFAATAN data perlintasan yang disandingkan dengan data survei wisatawan nasional (outbond) akan menghasilkan beberapa manfaat. Pertama, penentuan status subjek pajak warga negara Indonesia (WNI) yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan serta untuk menguji time test warga negara asing (WNA).
Kedua, pemetaan tingkat status sosial dan ekonomi (prominent people) berdasarkan pada mobilitas yang tinggi ke luar negeri. Ketiga, pendeteksian kepemilikan properti di luar negeri oleh wajib pajak HWI berdasarkan tujuan lokasi yang dikunjungi dengan frekuensi yang tinggi.
Keempat, upaya penggalian potensi pajak impor dan bea masuk dari pelintas batas yang berbelanja produk di atas ambang batas (threshold) nilai bebas bea masuk (US$500) oleh penumpang angkutan lintas negara.
Pada tataran eksekusi, terdapat 2 skenario utama dalam penggalian potensi wajib pajak HWI. Pertama, kegiatan intensifikasi yang memanfaatkan persandingan data tersebut dikaitkan dengan profiling wajib pajak melalui pendekatan gaya hidup bagi yang sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Kedua, kegiatan ekstensifikasi dengan mengedepankan hasil output CRM sebagai bahan untuk kegiatan pengumpulan data lapangan (KPDL) dan/atau daftar sasaran ekstensifikasi (DSE) bagi orang pribadi yang belum diaktifkan Nomor Induk Kependudukan (NIK)-nya sebagai NPWP.
Buchanan dan Flowers (1975) dalam The Public Finances menyatakan tujuan perpajakan adalah mendapatkan pendapatan negara untuk mendanai pengadaan barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah.
Filosofi pengumpulan pajak antara lain harus adil serta tidak boleh mengganggu ekonomi dan menyebabkan kelesuan ekonomi. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya wajib pajak HWI dapat berkontribusi lebih melalui pembayaran pajak yang proposional.
Kemudian, dengan surplus kekayaan yang dimiliki maka pembayaran pajak yang dilakukan wajib pajak HWI tidak akan memengaruhi kondisi ekonominya secara signifikan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.