Agustinus Imam Saputra,
PEMERINTAH Indonesia telah secara resmi menegaskan perubahan iklim (climate change) sebagai salah satu fokus dalam pembangunan nasional. Hal ini tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Selama 5 tahun ke depan, ada 3prioritas pembangunan lingkungan hidup. Ketiga prioritas yang dimaksud adalah peningkatan kualitas lingkungan, ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon.
Berdasarkan pada Nationally Determined Contribution (NDC), pemerintah berupaya menurunkan emisi karbon sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030. Penurunan emisi karbon untuk memitigasi dampak negatif dari perubahan iklim yang dapat mengganggu keberlangsungan kualiitas ekosistem dan kehidupan manusia.
Merujuk pada dokumen NDC, kebutuhan dana dalam mitigasi dan adaptasi climate change di Indonesia sekitar Rp3.776 triliun—Rp3.779 triliun hingga 2030. Nilai tersebut sangat besar dan akan memberatkan keuangan negara bila hanya menggunakan APBN.
Sementara itu, pandemi Covid-19 mengakibatkan pertumbuhan ekonomi pada 2020 minus 2,07%. Penerimaan pajak pada 2020 hanya mencapai Rp1.069,98 triliun atau 89,25% dari target. Beban keuangan negara akan berat bila tidak mencari sumber baru penerimaan bagi pendanaan perekonomian hijau di Indonesia.
Kenaikan target penerimaan pajak pada 2021 senilai Rp1229,58 triliun tetap akan sulit untuk mendukung pendanaan perubahan iklim. Apalagi, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 membutuhkan anggaran senilai Rp699,43 triliun atau naik sebesar 21% dari anggaran tahun lalu.
Sejalan dengan semangat pembangunan ekonomi hijau di Indonesia, pemerintah mengusulkan penerapan pajak karbon melalui Rancangan Undang-undang (RUU) perubahan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Penerapan pajak karbon akan membidik pihak yang menghasilkan emisi karbon. Pengenaan pajak karbon menjalankan polluter pays principle. Dengan demikian, penerapannya diharapkan dapat secara langsung menurunkan tingkat emisi.
Prinsipnya, pajak karbon dikenakan kepada siapapun yang mengeluarkan emisi dan harus membayar pungutan yang dikenakan. Pajak Karbon merupakan solusi untuk pembiayaan pembangunan ekonomi hijau sekaligus instrumen untuk menekan pencemaran lingkungan akibat emisi karbon.
Pada 2017, Indonesia menghasilkan 1.150 juta ton emisi karbon CO2e (BPS, 2019). Rata-rata emisi kabon pada masing-masing sektor tiap tahunnya relatif stabil, kecuali angka emisi karbon dari kebakaran hutan dan forestry and other land uses (FOLU).
Berdasarkan pada data tingkat emisi karbon dalam rentang periode 2014 hingga 2017, peningkatan yang signifikan pada kedua sektor tersebut terjadi pada 2015. Namun, tingkat emisi karbon pada kedua sektor itu kembali turun pada 2016.
RATA-rata emisi gas rumah kaca Indonesia per tahun adalah 1.687 juta ton CO2e. Asumsi dasar yang dapat digunakan ialah tidak ada perubahan yang signifikan atas rata-rata emisi karbon untuk tahun-tahun setelah 2017.
Data World Bank pada 2020 menunjukkan beberapa negara (46 national-32 subnational juridictions) telah menerapkan pajak karbon (carbon tax) sebagai sarana pengendalian eksternalitas negatif. Eksternalitas negatif adalah kerusakan ekonomi dan sosial yang tidak terkompensasi karena pelaku ekonomi, pihak ketiga perorangan, dan/atau badan hukum.
Afrika Selatan pada 2019 mematok tarif senilai US$5 atau sekitar Rp70.000 untuk setiap satu ton CO2e, Singapura senilai US$3,66, Argentina senilai US$5,96, dan Jepang senilai US$ 2,76. Berdasarkan informasi dari situs resmi DPR (2021), rencana penerapan pajak karbon di Indonesia akan menggunakan tarif paling rendah Rp75 per kilogram (kg) CO2e atau Rp75.000 per ton CO2e.
Dengan estimasi emisi karbon 1.687 juta ton CO2e, terdapat potensi penerimaan negara sekitar Rp12 triliun bila pengenaan tarif pajak karbon senilai Rp75 per kilogram CO2e dan meningkat menjadi Rp16 triliun bila tarif yang dikenakan senilai Rp100 per kilogram CO2e.
Potensi penerimaan tersebut belum dapat menutup kebutuhan pendanaan sekitar Rp343 triliun per tahun. Namun, kebijakan ini merupakan langkah awal untuk melibatkan semua pihak berkontribusi dalam pendanaan ekonomi hijau, terutama polluters yang menyumbang emisi karbon.
Lebih jauh, dengan pajak karbon, semua pihak diharapkan berusaha untuk menurunkan emisi karbon yang dihasilkan. Upaya itu dilakukan melalui perbaikan permesinan (machinery) dan proses bisnis yang ramah lingkungan.
Pajak karbon bisa menjadi solusi jangka panjang untuk pelestarian lingkungan dan mitigasi perubahan iklim yang membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia. Bagi perusahaan atau pihak penghasil emisi karbon, pembayaran pajak karbon ialah bagian dari prinsip mengedepankan people, planet, and profit selain penganggaran corporate social responsibility (CSR).
Kontribusi wajib pajak sangat diperlukan untuk bergotong royong dengan pemerintah dalam mewujudkan Indonesia yang tumbuh melalui pembangunan ekonomi hijau melalui penurunan emisi karbon.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.