Nathasya Marta Ningrum,
PANDEMI Covid-19 secara tiba-tiba mendatangi berbagai negara. Dimulai dari Wuhan, China pada Desember 2019, kini banyak dijumpai di negara sendiri. Pergerakan pesat pasien terpapar Covid-19 membuat berbagai negara mengambil keputusan untuk melakukan karantina wilayah (lockdown).
Ada 15 negara memberlakukan lockdown pada Maret 2020 dengan menutup akses kedatangan, menutup seluruh kegiatan bisnis kecuali tempat perbelanjaan, dan larangan adanya pertemuan publik selama 2- 3 pekan. Kebijakan ini berlanjut hingga Juli 2020 akibat lonjakan kasus Covid-19.
Namun, Presiden Joko Widodo tidak menerapkan hal yang sama. Dalilnya ekonomi masyarakat menengah ke bawah sebagian besar hidupnya masih bergantung pada kerja harian. Padahal, tidak hanya nasib mereka yang terancam, investor asing juga menerima dampaknya.
Situasi yang kian kompleks ini ikut menyerang isu perpajakan yang tidak terjadi sebelumnya, yaitu wajib pajak luar negeri dapat menikmati penurunan tarif pajak berdasarkan perjanjian penghindaran pajak berganda terpaksa dikenai tarif pajak normal menurut ketentuan perpajakan Indonesia, 20%.
Hal ini disebabkan wajib pajak luar negeri tidak dapat menyediakan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau DGT-Form sebagai akibat dari lockdown di negara asalnya. Pasalnya, lampiran DGT-Form sangat esensial dalam menikmati fasilitas P3B.
Namun, tidak ada kebijakan pajak yang diambil pemerintah terkait dengan kondisi tidak biasa ini hingga wajib pajak luar negeri tidak memiliki pilihan selain mematuhi Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan P3B.
Pelaksanaan PER-25 secara langsung akan menambah biaya lockdown bagi wajib pajak luar negeri. Biaya lockdown menurut OECD merupakan biaya yang harus ditanggung pada saat terjebak dalam keadaan karantina wilayah.
Dalam kasus ini, penambahan biaya lockdown disebabkan dua faktor, yaitu kantor pajak beberapa negara tutup sementara sehingga tidak dapat menerbitkan DGT-Form dan pelaksaan lockdown ini membuat otoritas pajak ragu menerbitkan DGT-Form.
Keraguan itu muncul dalam menentukan status perpajakan terutama bagi wajib pajak luar negeri individu yang bekerja secara berpindah. Perlu diketahui, status perpajakan individu ditentukan berdasarkan kepemilikan rumah tetap, aktivitas utama, atau negara yang lebih sering ditinggali.
Kebijakan lockdown membuat wajib pajak luar negeri tidak bisa berpindah dari negara tempat bekerja sebelumnya ke negara yang seharusnya wajib pajak luar negeri bekerja atau tinggal. Di sisi lain, wajib pajak luar negeri tetap melaksanakan pekerjaan tersebut melalui daring meski cuma di rumah.
Berkaca pada permasalahan di atas, OECD telah menerbitkan pedoman bersangkutan dengan perubahan status perpajakan individu dalam menanggapi kondisi Covid-19. Pedoman ini dibuat karena situasi pandemi Covid-19 dianggap sebagai kejadian luar biasa.
Pedoman ini memaparkan kebijakan lockdown memengaruhi penentuan status perpajakan yang dikecualikan selama lockdown. Dengan pedoman ini diharapkan otoritas pajak bisa menetapkan status perpajakan dengan tidak mengabaikan lockdown, seperti Australia, Inggris, dan Irlandia.
Di samping itu, wajib pajak luar negeri juga tidak terlepas menanggung biaya kepatuhan sehubungan dengan pembetulan bukti potong setelah DGT-Form tersedia.
Hal ini mengacu pada pernyataan Kring Pajak wajib pajak luar negeri meminta pembetulan bukti potong pada pemotong/pemungut apabila telah menerima DGT-Form yang masa berlakunya mencakup transaksi sebelumnya.
Risiko Biaya Lain
SELAIN itu, risiko biaya lain yang diterima wajib pajak luar negeri adalah biaya mengajukan permohonan pengembalian pajak yang tidak terutang sesuai dengan PMK No. 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang.
Permohonan ini dapat dilaksanakan pemotong atau pemungut berdasar surat kuasa bertandatangan basah wajib pajak luar negeri. Proses akan dilanjutkan dengan Dirjen Pajak melakukan riset untuk menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP).
Proses dari SPMKP ke pengembalian pajak pada rekening tidak ditentukan jangka waktunya dalam aturan tersebut. Ditambah, pengembalian pajak hanya ke rekening bank di Indonesia dalam mata uang Rupiah.
Dengan demikian, implementasi PER-25 tidak sesuai dengan kondisi pandemi Covid-19. Indonesia perlu mengambil keputusan dalam menangani permasalahan ini. Contoh, Italia yang memberi perpanjangan waktu dalam memvalidasi SKD dalam merespons lockdown berbagai negara.
Langkah memberikan perpanjangan jangka waktu melampirkan DGT-Form akan lebih bijak dibandingkan dengan melonjaknya permintaan kelebihan pembayaran pajak yang akan datang, pada saat kurva pasien yang terpapar virus Covid-19 di Indonesia belum melandai.
Pemberian jangka waktu ini dapat menjadi stimulus fiskal yang dapat untuk melindungi masyarakat. Tidak tepat rasanya jika saat ini pemerintah masih memikirkan fungsi budgetair di tengah banyak negara sedang mengalami resesi ekonomi.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.