Ulfa Setya Fatmawati,
PAJAK penghasilan (PPh) Pasal 21 merupakan penyumbang penerimaan pajak terbesar selain pajak pertambahan nilai (PPN) dan PPh badan. Karena itu, dalam penangangan pandemi Covid-19, objek PPh Pasal 21 merupakan salah satu pajak yang menerima fasilitas insentif.
Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) diberikan untuk pegawai dari pemberi kerja dengan klasifikasi lapangan usaha seperti yang diatur dalam PMK 44/2020 dan sebagaimana telah diubah dalam PMK 86/2020.
Tujuan pemberian insentif PPh Pasal 21 merupakan cara pemerintah memberikan keringanan yang manfaatnya bisa langsung diterima oleh masyarakat atau pegawai. PPh yang seharusnya dibayar ke kas negara dikembalikan ke pegawai.
Namun, praktik penerapan pemberian insentif ini akan menjadi masalah bagi pegawai yang mengundurkan diri (resign) atau berhenti bekerja dalam satu masa pajak terdapat kelebihan pajak PPh 21 yang harus dikembalikan ke karyawan.
Contoh, pegawai A di PT Z menerima insentif PPh Pasal 21, total pajak terutangnya selama Januari-Agustus 2020 sebanyak Rp600.000 untuk non-DTP dan Rp200.000 untuk pemotongan DTP. Namun, pegawai A berhenti bekerja pada September 2020.
Kemudian, setelah dihitung secara tahunan terdapat utang pajak pegawai A sebesar Rp500.000 dan lebih potong sebesar Rp300.000. Lalu, bagaimana cara pengembalian yang diperbolehkan tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku?
Perusahaan ‘Berjudi’
BELUM adanya aturan atas mekanisme pengembalian yang diperbolehkan itu memaksa perusahaan ‘berjudi’ dalam mengakui lebih potong tersebut. Perusahaan bisa mengembalikan senilai lebih potong yang terhitung, atau mengurangkannya terlebih dahulu dengan total pajak DTP?
Apabila perusahan salah hitung, maka akan mengakibatkan kurang bayar PPh Pasal 21 (non-DTP). Informasi resmi menyebutkan, “Apabila terdapat lebih potong pajak pada saat karyawan berhenti, maka total lebih potong yang terhitung harus dikurangkan terlebih dahulu dari pemotongan DTP”
Dari informasi itu dapat disimpulkan jika lebih potong Rp300.000 dan pemotongan DTP Rp200.000, maka yang boleh dikembalikan ke pegawai Rp100.000, yaitu Rp300.000 - Rp200.000. Dana Rp100.000 ini bisa pemotong/perusahaan klaim atau kompensasikan ke masa pajak berikutnya.
Lalu bagaimana dengan lebih potong yang lebih kecil dari pemotongan DTP? Pemberi kerja boleh saja melakukan metode seperti itu, atau membuat asumsi yang tidak saling merugikan antara pegawai, negara dan pemberi kerja. Sebab, aturan bakunya memang tidak ada.
Kasus-kasus kecil seperti ini mungkin belum terpikirkan oleh otoritas pajak saat membuat insentif pajak. Karena itu, bagi pemberi kerja, saat ada pegawai berhenti dan terdapat pajak lebih potong harus diperhitungkan dengan akurat agar tidak terjadi kesalahan kompensasi.
Kelebihan kompensasi yang salah dalam pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) Masa PPh Pasal 21 bisa mengakibatkan kurang bayar pada masa pajak berikutnya, dan otomatis akan menjadi beban tambahan bagi pemberi kerja.
Jika celah kecil ini kelak saat pemeriksaan menjadi koreksi pemeriksa dan mengakibatkan beban tambahan bagi perusahaan, peraturan pemberian insentif pajak tidak relevan dengan tujuan awalnya, yaitu mengurangi beban perusahaan karena situasi ekonomi yang sulit. Itu yang perlu diingat.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.