Hafidh Nadhor Tsaqib,
ORGANISATION for Economic Co-operation and Development (OECD) telah merumuskan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action PlanĀ pada 2015 yang salah satu aksinya bertujuan menghasilkan konsensus terkait dengan pajak digital.
Namun, BEPS Action PlanĀ hingga kini belum menemui kesepakatan, sehingga setiap negara melakukan aksi unilateral dalam memajaki entitas digital. Ditjen Pajak (DJP) mulai beradaptasi dengan perkembangan ekonomi digital dengan melakukan transformasi administrasi dan regulasi.
Salah satu regulasi yang telah diterbitkan DJP dalam merespon digitalisasi yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 48/PMK.03/2020.
OECD telah merekomendasikan pemungutan PPN PMSE melalui dokumen OECD Secretary General Tax Report to G20 Finance Minister and Central Bank Governor sehingga tidak melanggar konsensus antarnegara.
PMK 48/2020 mengukuhkan pemungut, penyetor, dan pelapor PPN PMSE berdasarkan atas kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2020 sehingga entitas digital diberikan tanggung jawab atas penerapan PPN PMSE.
Dalam laporan e-Conomy SEA 2019 yang dirilis Google, Indonesia memiliki nilai ekonomi digital hingga US$27 miliar pada 2018 atau 49% lebih tinggi dari posisi 2015. Nilai tersebut menjadikan Indonesia menduduki posisi tertinggi di ASEAN.
Dengan demikian, Indonesia memiliki keabsahan menerapkan PPN PMSE karena potensi penerimaannya besar. PPN PMSE juga menciptakan level playing field untuk entitas nondigital yang selama ini menjadi subjek PPN, sekaligusĀ sesuai dengan prinsip destination principle.
Namun, menurut OECD, pertumbuhan ekonomi digital justru menimbulkan versi baru shadow economy. Ditambah lagi dengan tingginya pengguna Internet hingga 4,54 miliar, dan Indonesia menduduki peringkat pertama dunia dalam e-commerce, 88%. (We Are Social, 2020).
Pasal 5 PMK 48/2020 yang mengidentifikasi pembeli menurut alamat protokol bisa menjadi celah bagi pengguna Virtual Private Network (VPN), mengingat Indonesia adalah peringkat pertama pengguna VPN terbanyak dunia, 38% (Geosurf, 2018). Ini potensi sekaligus tantangan bagi DJP.
Informasi AEoI
MELALUI PMK 48/2020, pemungut PPN PMSE dilakukan penyedia perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang dikukuhkan oleh Menteri Keuangan.
Tentu hal tersebut menjadi concern DJP untuk melacak hak atas pengembalian PPN (VAT return) agar mencegah terjadinya klaim penipuan karena berada pada lintas yurisdiksi. Oleh karena itu, dibutuhkan pertukaran informasi antarnegara untuk melacak fraud yang merugikan Indonesia.
Untuk mengatasi tantangan informasi tersebut, OECD menggagas adanya Automatic Exchange of Information (AEoI)Ā yang merupakan pertukaran informasi wajib pajak oleh negara asal ke negara tujuan secara otomatis dan berkala.
AEoI mempunyai berbagai manfaat di antaranya meningkatkan tax compliance, mendorong wajib pajak untuk melaporkan semua informasi relevan, serta memudahkan otoritas pajak melakukan tracing data antarnegara untuk mendeteksi fraud, terutama dalam kebijakan PPN PMSE.
OECD menggalakkan AEoI dengan menginisiasi perjanjian Multilateral Competent Authority Agreement on Automatic Exchange of Financial Account Information (MCAA) yang ditandatangani sekitar 105 negara, termasuk Indonesia.
Namun, berdasarkan Pengumuman DJP No. PENG-65/PJ/2020, tidak semua negara tergabung dalam kesepakatan itu, salah satunya Amerika Serikat (AS). Menurut UNCTAD, AS mendominasi ekonomi digital dengan 90% dari 70 platform digital terbesar telah dikapitalisasiĀ negara tersebut.
Sebanyak 11 dari 28 entitas digital yang ditunjuk DJP sebagai PPMSE berasal dari AS. Ini tantangan dan ancaman terkait dengan pertukaran informasi perpajakan, sehingga dibutuhkan metode pemungutan yang efektif dan efisien dalam menghindari fraud dan cost of taxation yang tinggi.
Split-payment method bisa menjadi solusi tantangan arus informasi dengan membagi jumlah bersih dan PPN dari jumlah pembayaran konsumen. Lamensch (2012) menekankan metode ini pada penyedia layanan pembayaran untuk mengidentifikasi dan mengakses informasi konsumen.
Penyedia layanan pembayaran diwajibkan membagi pembayaran dan meneruskan PPN konsumen ke otoritas pajak. Polandia, Italia, dan Rumania menerapkan metode ini lalu diadaptasi dalam rancangan terkait dengan transaksi business to consumer online lintas batas oleh Perancis dan Inggris.
Skema ini menjadi solusi dikarenakan penyedia layanan pembayaran berada pada daerah yurisdiksi sehingga lebih mudah dalam mengakses informasi pemungutan, penyetoran, serta pelaporan PPN. Metode ini juga memiliki berbagai kelebihan dalam mengurangi cost of taxation.
Pertama, metode ini dijalankan melalui sistem yang secara otomatis melakukan pemungutan, pelaporan, serta penyetoran terhadap otoritas pajak. Kedua, metode ini tidak melanggar legal character dari PPN yaitu destination principle.
Ketiga, otomatisasi mengurangi risiko fraud karena minimnya keterlibatan penyedia layanan pembayaran dan informasi terperinci. Keempat, metode ini mudah diimplementasikan karena mengikuti prosedur pembayaran online yang ada yang perlu disesuaikan dengan otomatisasi perhitungan pajak.
Digitalisasi sistem perpajakan memang memiliki dampak positif meski terdapat berbagai tantangan, terutama dalam arus informasi. Tantangan ini dapat direduksi dengan split-payment karena tantangan di era digitalisasi mengharuskan sistem administrasi yang terdigitalisasi dan terotomatisasi.
Karena itu, inovasi sistem administrasi harus diterbitkan oleh otoritas pajak, khususnya DJP.Ā Hal tersebut mesti dilakukan untuk mendorong sistem perpajakan yang pasti, nyaman, efisien, dan simpel sesuai dengan asas ease of administration.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.