LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2020

Menguji Legalitas PPN Ditanggung Pemerintah

Redaksi DDTCNews
Senin, 26 Oktober 2020 | 14.01 WIB
ddtc-loaderMenguji Legalitas PPN Ditanggung Pemerintah

Aji Kusuma Wijaya,

Makasar, Jakarta Timur

PANDEMI Covid-19 merupakan bencana nasional nonalam yang sangat memengaruhi stabilitas ekonomi. Mengingat makin meluasnya penyebaran Covid-19, ketersediaan obat-obatan dan alat-alat kesehatan menjadi suatu keharusan.

Masalahnya, berbagai kebijakan pembatasan sosial, menyebabkan aktivitas ekonomi juga sangat terbatas. Akibatnya, pendapatan dan daya beli masyarakat secara umum jauh berkurang. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam mengendalikan pandemi virus tersebut sangat diperlukan.

Salah satu kebijakan fiskal yang diambil pemerintah adalah memberikan fasilitas pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung pemerintah (DTP) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 28/PMK.03/2020.

Dengan PMK ini, penyerahan barang kena pajak dan jasa kena pajak (BKP/JKP) untuk penanganan Covid-19 kepada badan/instansi pemerintah, rumah sakit dan pihak lain yang ditunjuk, PPN-nya ditanggung pemerintah. Jadi, badan atau rumah sakit yang ditunjuk itu tidak perlu membayar PPN.

Pemberian PPN DTP ini menimbulkan perdebatan. Hal ini timbul karena UU PPN tidak mengenal fasilitas DTP. UU PPN hanya mengenal fasilitas PPN tidak dipungut dan PPN dibebaskan. Akibatnya, beberapa pihak mempertanyakan legalitas dan manfaat pemberian fasilitas DTP tersebut.

Isu Legalitas
PEMERINTAH bisa saja menetapkan barang dan jasa untuk penanganan Covid-19 sebagai non-BKP atau non-JKP sesuai Pasal 4A UU PPN. Namun, Pasal 4A UU PPN sudah membatasi jenis  barang dan jasa yang tidak dikenai PPN.

Menambahkan barang dan jasa sebagai non-BKP atau non-JKP hanya bisa dilakukan dengan mengubah UU. Selain itu, karena sifatnya sementara atau selama pandemi, dan hanya terkait dengan subjek pajak tertentu, penggunaan Pasal 4A UU PPN menjadi tidak relevan dan tidak efisien.

Pemerintah bisa juga memakai fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan sesuai dengan Pasal 16B UU PPN. Namun, pada bagian penjelasannya, fasilitas  kesehatan pada Pasal 16B dibatasi untuk pengadaan vaksin program imunisasi dan pengadaan dalam rangka penanganan bencana alam.

Mengingat belum ada program imunisasi, Pasal 16B UU PPN belum bisa diterapkan. Selain itu, obat dan alat kesehatan lain juga tidak diakomodasi. Keppres No.12/2020 yang menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam mempertegas penggunaan Pasal 16B tidak relevan.

Akhirnya, pemerintah menggunakan fasilitas PPN DTP untuk menangani pandemi Covid-19. Pemerintah tetap menyatakan penyerahan BKP dan JKP dalam rangka penanganan Covid-19sebagai penyerahan yang terutang PPN.

Namun, pemerintah menyubsidi  badan atau rumah sakit yang menangani Covid-19 dalam bentuk PPN ditanggung pemerintah. Mekanismenya melalui penyediaan anggaran belanja di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan sebagai pelunasan pajak yang terutang.

Sebelum PMK-28/PMK.03/2020 terbit pada 6 April 2020, pemerintah telah terlebih dahulu menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN Tahun Anggaran 2020 pada 3 April 2020.

Dalam Perpres tersebut, pemerintah telah menganggarkan pajak DTP dan bea basuk sebesar Rp64 triliun. Berdasarkan hal-hal tersebut, penggunaan fasilitas PPN DTP untuk menangani pandemi COVID-19 memiliki dasar hukum yang kuat dan relevan.

Manfaat PPN DTP
PEMILIHAN kebijakan PPN DTP yang diambil pemerintah diharapkan memberi manfaat baik bagi penanganan Covid-19 maupun bagi pelaku usaha terkait. Bagi badan atau rumah sakit selaku pembeli BKP, kebijakan ini memberikan kelonggaran likuiditas untuk pengadaan obat dan alat kesehatan.

Sebagai pembeli, badan dan rumah sakit tidak perlu membayar PPN terutang, sehingga dengan dana Rp11 juta misalnya, rumah sakit dapat membeli 11 alat kesehatan seharga Rp1 juta/unit. Sementara bila tidak ada fasilitas PPN DTP ini, rumah sakit hanya bisa membeli 10 alat kesehatan saja.

Bagi PKP penjual, fasilitas ini tentunya memberi peluang untuk memperoleh omzet yang lebih besar. PKP penjual bisa menjual 11 unit alat kesehatan kepada rumah sakit yang memiliki dana Rp11 juta. Bila PKP memungut PPN terutang, PKP hanya bisa menjual 10 unit alat kesehatan saja.

Selain itu, bagi PKP penjual, dengan fasilitas PPN DTP, pajak masukan atas perolehan alat kesehatan itu dapat dikreditkan. Manfaat ini tidak ada jika pemerintah menggunakan fasilitas PPN dibebaskan atau menjadikan barang/jasa penanganan pandemi sebagai non-BKP atau non-JKP.

Bagi masyarakat, PMK 28/ 2020 diharapkan dapat menjaga ketersediaan obat, alat kesehatan dan alat pendukung untuk menangani pandemi Covid-19. Dengan demikian, tujuan pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman Covid-19 dapat terwujud.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.