Louish Anderson Sitepu,
DINAMIKA pembahasan Pilar 1 sebagai solusi pemajakan atas ekonomi digital di negara pasar telah mencapai finalisasi dengan dirilisnya outcome statement atas Solusi 2 Pilar pada Juli 2023. Dalam dokumen tersebut, terdapat timeline penandatanganan Multilateral Convention (MLC) Amount A pada akhir 2023 dan implementasi Amount A pada 2025.
Terlepas dari perkembangan ini, perlu dicatat bahwa agar entry into force, MLC harus memenuhi critical mass. Setidaknya 30 negara yang mewakili sedikitnya 60% dari entitas induk usaha grup multinational yang tercakup Amount A harus meratifikasi MLC sebelum 2025.
Oleh karena itu, Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang menyumbang entitas induk dengan jumlah paling signifikan harus meratifikasi MLC agar syarat critical mass tersebut tercapai. Sayangnya, perkembangan terkini cenderung membangkitkan pesimisme terhadap prospek Pilar 1. Hal ini mengingat intensnya resistensi yang ditunjukkan senat AS terhadap aturan Pilar 1.
Sebagai salah satu negara anggota Inclusive Framework (IF), Indonesia perlu menyiapkan sekoci sebagai antisipasi apabila perahu Pilar 1 gagal berlayar. Salah satu alternatif kebijakan yang dapat ditempuh adalah dengan mengadopsi ketentuan Article 12B United Nations (UN) Model Tax Convention pada persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) yang ada.
Article 12B yang dirilis UN Tax Committee pada April 2021 merupakan ketentuan tambahan dalam model tax treaty versi UN. Ketentuan ini memberikan hak pemajakan kepada yurisdiksi sumber atas pembayaran jasa digital kepada wajib pajak luar negeri (WPLN) mitra P3B yurisdiksi tersebut.
Cakupan jasa digital di sini kurang lebih sama dengan automated digital services yang diatur pada blueprint Pilar 1 (PwC, 2021). Adapun mekanisme pemajakan dapat dilakukan melalui 2 opsi, yaitu pemotongan pajak pada saat pembayaran (withholding) dan penghitungan annual net income atas penjualan WPLN di yurisdiksi sumber (Ovonji-Odida, Grondona, dan Chowdary, 2022).
ARTICLE 12B memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Setidaknya ada 3 kelebihan yang bisa dilihat. Pertama, potensi penerimaan pajak lebih signifikan (Ovonji-Odida, Grondona, dan Chowdary, 2022).
Tidak seperti Pilar 1 yang hanya mengalokasikan hak pemajakan atas sebagian kecil laba global grup multinational, Article 12B dikenakan langsung atas pendapatan bruto yang diterima WPLN melalui mekanisme withholding.
Dengan skema tersebut, potensi pajak yang diraup melalui Article 12B bisa lebih besar. Selain itu, Article 12B tidak mengenal adanya threshold peredaran usaha dan tingkat laba sebagaimana Pilar 1 sehingga cakupan subjek pajaknya lebih luas.
Kedua, penerapannya lebih mudah (Ovonji-Odida, Grondona, dan Chowdary, 2022). Melalui skema withholding, pemotongan pajak dilakukan pada saat pembayaran kepada WPLN sehingga lebih praktis. Tidak hanya itu, apabila opsi yang digunakan adalah net annual income, penghitungannya relatif mudah.
Dengan skema net annual income, otoritas cukup menghitung deemed profit di yurisdiksi sumber. Penghitungan dilakukan dengan mengalikan omzet lokal dengan rasio profitabilitas grup multinasional dalam setahun dan persentase alokasi laba untuk yurisdiksi pasar (ditetapkan 30%). Secara sederhana, formula penghitungannya adalah sebagai berikut: Net or qualified profits = 0.3 x (Locally derived revenue x profitability ratio)
Ketiga, pengadministrasian lebih mudah. Melalui skema withholding, fiskus dapat melakukan pengawasan pemotongan Article 12B dengan menelusuri biaya atas pembayaran jasa digital yang dibukukan wajib pajak dalam negeri (WPDN) pembayar. Jika wajib pajak yang bersangkutan tidak menjalankan kewajiban pemotongan, fiskus dapat menganulir pengurangan atas biaya yang terasosiasi dengan pembayaran tersebut.
Selain kelebihan, Article 12B juga memiliki beberapa kekurangan. Pertama, amandemen P3B secara bilateral diperlukan (Ovonji-Odida, Grondona, dan Chowdary, 2022). Negosiasi secara bilateral atas P3B untuk mengadopsi Article 12B cenderung memakan waktu yang lama sehingga dibutuhkan solusi Multilateral Instrument (MLI) agar dapat dilakukan amandemen secara multilateral.
Kedua, efektivitas hanya berlaku untuk transaksi business to business (B2B). Dalam hal skema yang dipilih adalah withholding, transaksi business to consumer (B2C) seperti Netflix dan Spotify akan luput dari pemajakan. Hal ini mengingat pengguna umumnya orang pribadi yang bukan merupakan pemotong pajak. Jika seperti ini maka dapat digunakan pendekatan net annual income sehingga seluruh laba yang dihasilkan WPLN di yurisdiksi sumber dapat dikenakan pajak penghasilan.
Ketiga, dukungan politis yang masif dibutuhkan. Pada saat ini, cukup sulit untuk mengumpulkan dukungan politis yang signifikan atas Article 12B. Hal ini mengingat komitmen politis negara-negara IF terhadap proyek Pilar 1.
Namun demikian, perkembangan Pilar 1 yang berlarut-larut dan dinamika politik di AS dapat digunakan sebagai katalis bagi negara-negara berkembang untuk mendorong dihadirkannya solusi lain di luar Pilar 1.
Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, Article 12B merupakan solusi yang lebih ideal bagi negara-negara berkembang untuk mendapatkan hak pemajakan yang fair atas penghasilan yang diperoleh raksasa-raksasa digital. Article 12B menjanjikan potensi penerimaan pajak yang lebih besar dan lebih administrable dibandingkan Pilar 1.
Namun demikian, terdapat tantangan besar dalam implementasinya karena membutuhkan dukungan dan komitmen politis substansial dari sejumlah besar negara, termasuk negara-negara maju. Hal ini juga penting untuk dilihat pemerintah sekarang dan pemerintah mendatang pascapemilihan umum 2024.
Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang terbesar dan berpengaruh di dunia, perlu memainkan perannya untuk menginisiasi dan menggalang dukungan dari negara-negara berkembang lainnya atas Article 12B di bawah payung komando UN.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.