Benny Gunawan Ardiansyah,
VISI Indonesia mencapai negara maju pada 2045. Indonesia diharapkan menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-4 di dunia. Adapun salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian untuk mewujudkan visi tersebut adalah pertumbuhan ekonomi regional yang tinggi dan berkelanjutan.
Dalam konteks Indonesia, ekonomi regional juga berkaitan dengan desentralisasi fiskal. Terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) menjadi kunci penguatan desentralisasi fiskal.
UU HKPD diyakini akan memperkuat sinergi kebijakan fiskal pusat dan daerah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan. Terkebih, pembahasan UU HKPD juga dilakukan saat terjadinya pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia dan berdampak buruk terhadap ekonomi.
Selain ekonomi, pandemi Covid-19 juga berdampak pada perubahan gaya hidup manusia, termasuk adanya peningkatan kesadaran terhadap kelestarian lingkungan. Pada musim kemarau seperti saat ini, isu lingkungan juga cukup menjadi perhatian masyarakat.
Kesadaran itu makin tinggi mengingat adanya fakta makin turunnya daya dukung lingkungan, seperti kualitas udara di perkotaan. Kualitas lingkungan (udara) dipengaruhi aktivitas ekonomi. Dapat dipastikan kualitas udaha buruk sepanjang tahun di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Karawang, dan Bandung.
Untuk merespons situasi tersebut, diperlukan upaya pemerintah daerah terkait dengan penjagaan keseimbangan antara kualitas lingkungan hidup dan peningkatan aktivitas perekonomian daerah. Dibandingkan dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah lebih memahami kondisi lingkungannya.
LANTAS, bagaimana dana pembiayaan untuk mencapai tujuan tersebut? Sejak berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), sebagian dari pendapatan pajak daerah harus digunakan secara khusus untuk mendanai sektor-sektor tertentu.
Meskipun tidak disebutkan secara jelas dalam UU PDRD, kebijakan ini menggambarkan konsep earmarking tax. Carling (2007) menyebut earmarking tax bisa memaksa pemerintah untuk menggunakan sebagian pendapatan pajak tertentu untuk tujuan tertentu dengan jumlah atau persentase yang telah ditentukan.
Terdapat 3 jenis pajak daerah yang menganut skema earmarking tax. Pertama, pajak rokok setidaknya 50%-nya untuk mengatasi eksternalitas konsumsi rokok. Kedua, pajak kendaraan bermotor (PKB) sedikitnya 10% dialokasikan untuk pembangunan atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
Ketiga, pajak penerangan jalan (PPJ) dialokasikan sebagian untuk penyediaan penerangan jalan umum. Adanya UU HKPD ikut mengatur pengalokasian setidaknya 10% untuk penyediaan penerangan jalan umum, yang meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan.
UU HKPD memperkuat konsep earmarking tax dengan menambahkan 1 jenis pajak lagi, yaitu pajak air tanah (PAT). Pajak ini dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.
Hasil penerimaan PAT dialokasikan setidaknya 10% untuk pencegahan, penanggulangan, serta pemulihan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah.
Berdasarkan pada hasil evaluasi earmarking tax selama lebih dari satu dekade, pemerintah daerah masih membutuhkan waktu agar penerapannya berlangsung dengan sebaik-baiknya sehingga memberi kemanfaatan bagi masyarakat.
Kendala penerapan earmarking tax terutama terkait dengan permasalahan administrasi menyangkut dasar hukum pelaksanaan. Banyak pemerintah daerah belum mampu melaksanakan amanat UU PDRD.
Banyak pemerintah daerah yang juga belum menyusun bagan akun standar atau melakukan penandaan atas belanja yang didanai dari hasil penerimaan pajak tersebut. Jika pun sudah dilakukan, ternyata alokasi earmarking tax sangat kurang untuk mencukupi seluruh belanja pelayanan publik sehingga sifatnya hanya berupa tambahan.
UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) telah memperkenalkan pajak karbon. Sesuai dengan UU HPP, penerapan pajak itu memperhatikan peta jalan pasar karbon dan/atau peta jalan pajak karbon di Indonesia.
Pemanfaatan pendapatan negara dari pajak karbon dapat digunakan untuk penambahan dana pembangunan, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, investasi ramah lingkungan, serta dukungan masyarakat berpenghasilan rendah dalam bentuk bantuan sosial.
Melihat penggunaan pajak karbon yang kurang spesifik tersebut, dikhawatirkan akan terjadi permasalahan yang sama dengan penerapan earmarking tax di seluruh daerah. Pendapatan pajak karbon akan sangat kurang jika bertujuan untuk mencukupi seluruh tujuan tersebut di atas sehingga bersifat tambahan.
Sejalan dengan hal tersebut, seharusnya pajak karbon juga diperuntukkan untuk kegiatan yang bersifat spesifik. Dalam hal ini, pemerintah seharusnya sudah mempersiapkan peta jalan penggunaan pajak karbon untuk mencapai target yang diinginkan.
Pada akhirnya, pertimbangan skema earmarking tax terkait dengan pajak karbon dapat turut mendukung upaya untuk tujuan awal tadi. Harapannya, terjadi keseimbangan antara kualitas lingkungan hidup dan peningkatan aktivitas perekonomian daerah.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.