Aditya Putra,
BISA dibilang, Indonesia termasuk negara yang sangat bermurah hati dalam memberikan insentif perpajakan guna menarik investasi. Insentif PPh misalnya, pemerintah menawarkan berbagai jenis fasilitas, mulai dari tax holiday, mini tax holiday, tax allowance, investment allowance, supertax deduction (untuk vokasi dan litbang), serta insentif PPh berbasis kewilayahan lainnya.
Dalam Tax Expenditure Report 2021, Kementerian Keuangan mencatatkan belanja perpajakan dari insentif PPh terus mengalami peningkatan dari Rp99,8 triliun pada 2018, menjadi Rp107,3 triliun pada 2021. Angka tersebut belum termasuk fasilitas PPN dan kepabeanan yang juga cukup besar.
Besarnya insentif pajak memberikan tantangan bagi pemerintah dalam memenuhi kebutuhan APBN. Tak cuma itu, pemerintah juga makin dituntut untuk meningkatkan tax ratio. Tax ratio Indonesia dapat dibilang cukup rendah, yakni 10,4% pada 2022, jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga.
Pertanyaan yang muncul ialah, apakah rezim presiden dan pemerintah selanjutnya tetap akan meneruskan kebijakan insentif pajak yang telah berjalan lama?
Insentif pajak pada dasarnya mampu memberikan beberapa manfaat dalam mengakselerasi sektor bisnis, melalui peningkatan daya tarik investasi, mendukung eksistensi bisnis, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Insentif pajak juga mampu mendorong UMKM, bahkan untuk membantu pemulihan dari kondisi pandemi seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir. Insentif pajak dianggap dapat memberikan manfaat multiplier dan spillover teknologi bagi perekonomian suatu negara.
Melihat manfaat tersebut, hampir setiap rezim pemerintahan Indonesia menerapkan kebijakan insentif dengan maksud dan tujuannya masing-masing. Insentif pajak penghasilan di Indonesia memiliki sejarah lama semenjak pemerintahan Presiden Soeharto, yakni melalui pemberian tax allowance.
Kebijakan insentif ini kemudian terus dilanjutkan dan dikembangkan oleh rezim pemerintah penerusnya, bahkan justru makin menambah jenis insentif yang diberikan. Sebagai contoh, tax holiday makin gencar diberikan pada rezim pemerintahan Presiden SBY.
Rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga terus mendukung industri dengan menambah insentif baru seperti investment allowance, super-deduction, dan pelonggaran insentif yang sudah ada. Fakta tersebut menunjukkan besarnya dukungan pemerintah kepada industri dan korporasi besar.
Pemerintah nampaknya masih mengandalkan insentif pajak sebagai instrumen dalam mendorong bisnis, bahkan sering disebut quick win dari problem dunia bisnis. Tren satu dekade terakhir, insentif pajak seperti tax holiday dan tax allowance justru makin diperlonggar dan luas.
Sebagai contoh, tax holiday yang semula ditujukan untuk mendorong industri pionir dengan nilai investasi minimal Rp1 triliun, makin diperlonggar dengan menurunkan nilai minimal investasi dan memperluas cakupan industri yang diberikan. Bahkan, khusus untuk kebijakan tax holiday, pemerintah mulai mengenalkan mini tax holiday dengan memberikan pengurangan penghasilan neto sebesar 50% dalam jangka waktu 5 tahun untuk investasi minimal Rp100 miliar sampai Rp500 miliar.
Selanjutnya, tax allowance juga mengalami pola yang sama. Pemerintah memperlebar daftar sektor usaha yang berhak mendapatkan fasilitas tersebut, dari semula 72 KBLI pada 2007 menjadi 183 KBLI pada 2019. Selain itu, pada 2019 pemerintah memperkenalkan insentif baru yang menambah deretan jenis fasilitas, seperti investment allowance serta super-deduction untuk penyelenggaraan kegiatan vokasi dan litbang.
Menariknya, OECD dalam working paper yang dikeluarkan pada Juli 2023 menyebutkan kebijakan insentif dan relaksasi tarif pajak penghasilan untuk korporasi ternyata mulai kehilangan pengaruh dan daya tariknya. Secara tidak langsung, OECD ingin menyampaikan bahwa insentif bukan menjadi primadona lagi dalam menstimulasi investasi dan pertumbuhan bisnis.
Kebijakan pemberian insentif pajak penghasilan saat ini juga tengah menghadapi kondisi dilematis ketika pemerintah benar menerapkan kebijakan tarif pajak minimum global pada Pilar 2: Global Anti Base Erosion. Jika diterapkan, kebijakan itu menjadi pertanda race to the bottom era telah berakhir.
Secara umum, kebijakan Pilar 2 merupakan sebuah model kebijakan yang diinisiasi OECD dan diterapkan secara global dengan menerapkan tarif pajak minimum global 15% bagi perusahaan multinasional. Maksudnya, ketika perusahaan multinasional memiliki tarif pajak efektif dibawah 15%, bisa dikarenakan tax avoidance atau pemanfaatan fasilitas pajak, perusahaan tersebut tetap akan dikenakan tarif pajak 15% melalui top-up tax dari negara asal perusahaan tersebut.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk membatasi perilaku beberapa negara yang berlomba untuk menurunkan tarif pajaknya guna menarik investasi asing.
Kondisi ini juga menyebabkan pemberian insentif pajak menjadi kurang relevan untuk menarik investasi perusahaan luar, karena dimanapun dia berada, tetap akan dikenakan tarif pajak 15%. Ketika Indonesia memilih untuk menerapkan insentif pajaknya, pajak 15% akan dipungut oleh negara asal perusahaan dan membuat Indonesia harus merelakan potensi pajak lari ke negara lain.
Lalu, akankah rezim pemerintah berikutnya mengevaluasi kembali insentif pajak yang telah diberikan selama ini? Atau justru akan melanjutkan pemberian insentif yang jauh lebih generous ke depan?
Tentu jawabannya akan menjadi pilihan politis yang cukup menantang bagi pemimpin selanjutnya. Hampir di seluruh kampanye, setiap kandidat presiden memiliki agenda besar di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Namun, masih jarang ditemui kandidat presiden yang mengangkat isu perpajakan dalam agenda kampanye. Padahal, pajak merupakan kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat yang memiliki peran krusial dalam penyelenggaraan pemerintah dan penyediaan barang publik.
Insentif pajak yang dikelola dengan baik tetap memiliki peran yang besar untuk mendorong ekonomi domestik ke depan. Menghilangkan sepenuhnya insentif dipandang sebagai hal yang naif. Untuk menjamin kepastian hukum, perusahaan yang telah menerima tax holiday atau tax allowance tidak dapat serta merta dicabut pemberian fasilitasnya.
Perlu dicatat, memberikan sinyal adanya insentif pajak bagi industri dapat meningkatkan dukungan politik dari pengusaha. Namun, melihat kebutuhan anggaran yang makin besar, pemerintah ke depan perlu berani menimbang kembali dan mengarahkan pengorbanan penerimaan tersebut ke sektor yang lebih sustainable, seperti sektor energi dan penanggulangan perubahan iklim.
Penguatan ketahanan fiskal makin krusial guna menghadapi risiko ketidakpastian pada masa depan. Kita tentu perlu belajar dari pandemi, krisis keuangan, konflik geopolitik, serta ancaman lainnya.
Oleh karena itu, pada pemilu ke depan, sangat diharapkan munculnya pemimpin yang berani dan lebih bijak melihat perkembangan internasional dan bagaimana kebijakan pajak, terutama pemberian insentif, dapat dirancang untuk mengikuti perkembangan dinamika global. Platform pajak juga perlu disusun untuk menjaga kesinambungan fiskal Indonesia.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.