LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Menjadi 'Detektif Pajak’ dalam Menganalisis Program Pajak Capres

Redaksi DDTCNews
Kamis, 10 Januari 2019 | 17.19 WIB
ddtc-loaderMenjadi 'Detektif Pajak’ dalam Menganalisis Program Pajak Capres
Nurul Fadilah,
STIA-Lembaga Administrasi Negara Bandung

SECARA harfiah, sistem pajak merupakan hubungan yang bersifat wajib antara negara dan warganya karena negara mempunyai kewajiban untuk menyejahterakan rakyatnya dan menyediakan layanan-layanan publik yang bersifat mutlak.

Masyarakat yang tidak membayar kewajiban pajak kemudian menjadi pembonceng gratis (free rider) di dalam suatu negara. Selanjutnya konsep ini menjadi dasar pemikiran tentang pengalokasian sumber-sumber keuangan pajak secara efektif (public finance).

Program perpajakan menjadi salah satu hal yang sangat penting dan vital dalam visi-misi dua pasangan calon presiden (Capres) Indonesia 2019-2024, baik Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Keduanya menjadikan pajak sebagai salah satu fokus pembangunan yang perlu diperhatikan sebagai upaya kemajuan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan dan penyelenggaraan negara. Maka dari itu, kedua capres menawarkan berbagai program pajak dengan keunggulan kebijakannya.

Program pajak capres Jokowi-Ma’ruf Amin terfokus ke dalam dua program, yaitu melanjutkan reformasi perpajakan yang berkelanjutan dan memberikan insentif pajak bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Reformasi yang akan dilakukan Jokowi-Ma’ruf merupakan salah satu langkah terbaik, mengingat melanjutkan sistem perpajakan yang sebelumnya saja sudah menjadi hal yang berat. Hal ini diasumsikan memang on track dan in linedengan reformasi yang sedang dijalankan.

Capres Jokowi-Ma’ruf menitikberatkan pengelolaan untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional yang profesional, akuntabilitas, efisien dan berkeadilan. Namun, konsistensi tersebut tidak terlepas dari kekurangan yang dimiliki yaitu terkait revisi UU Perpajakan yang belum optimal.

Sementara itu, kubu Prabowo-Sandi berusaha memberikan gebrakan dan stimulus fiskal yang agresif dengan menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP), menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 orang pribadi serta menghapus pajak bumi dan bangunan (PBB).

Kebijakan ini nyatanya akan menggenjot konsumsi, investasi dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi sehingga dijamin daya beli masyarakat akan meningkat. Sebab sebagian pendapatan yang sedianya dialokasikan untuk membayar pajak nantinya dapat dipakai untuk menambah konsumsi.

Kebijakan pajak kubu Prabowo-Sandi mengadopsi kebijakan pajak di Amerika Serikat sehingga dinilai memiliki kekurangan, karena belum tentu kebijakan ini dapat berhasil diterapkan di negara berkembang seperti di Indonesia.

Kurangnya elaborasi dari program pajak kubu ini dengan kebijakan-kebijakan yang tengah dijalankan pemerintah saat ini,termasuk yang belum dicapai pun, masih menjadi kekurangan bagi program pajak yang ditawarkan oleh kubu Prabowo-Sandi.

Dapat disimpulkan bahwa kebijakan dari Jokowi dan Prabowo memiliki perbedaan yang sangat kontras. Namun, keduanyamemiliki tugas berat yang sama, yaitu perihal kesadaran wajib pajak dan edukasi pajak.

Adapun reformasi perpajakan yang harus ditekankan kedua kubu adalah penekanan pada pegawai pajak agar bisa meningkatkan kualitasnya melayani publik, dan senantiasa meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak dengan teknologi informasi, dan insentif yang berkelanjutan.

Kebijakan pajak kedua kubu ini tidak bisa diterapkan begitu saja, Penerapannya mesti memperhatikan aspek kompleksitas dengan kemampuan masyarakat dalam menganalisis program, sehingga perlu diterapkan metode pemikiran rasional deduktif untuk mengetahui arah kebijakan pajak.

Perspektif ini kemudian populer dengan sebutan pendekatan rational choice (RC). Pemikiran ini berusaha memahami realitas politik di masyarakat dalam memilih berbagai alternatif pilihan ekonomi, sosial maupun politik.

Dengan demikian, pendekatan ini dapat diaplikasikan untuk berbagai sikap pemilih (voters) dalam pemilihan umum dengan menganalisis dan mempelajari secara lebih mendalam kesesuaian sikap dan kebijakan capres dengan cita-cita nasional bangsa.

Pemikiran rasional deduktif mampu membantu masyarakat dalam melihat dan mempertimbangkan secara lebih mendalam tentang realitas sosial yang berkembang di dalam masyarakat. Pemikiran seperti inilah yang perlu diperhatikan oleh masyarakat.

Pemikiran rasional deduktif seperti detektif senantiasa menjadikan setiap masyarakat kritis terhadap sumber vital pendapatan negara, yang pada akhirnya menentukan keberhasilan salah satu kandidat capres dalam upaya mensejahterakan kehidupan bersama.

Dengan demikian, pemikiran detektif pajak dapat menjadi analisis yang tepat bagi masyarakat dengan menyusun formulasi dan prioritas berdasarkan ranking dan pelaksanaan alternatif kebijakannya yang diusung baik oleh capres kubu Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno.

Pemikiran rasional deduktif harus berlangsung secara berkesinambungan, terus-menerus dan lebih dinamis untuk senantiasa dilakukan oleh setiap anggota masyarakat. Hal ini tentunya menjadi salah satu langkah reformasi.

Dengan demikian, ketika suatu pemerintahan menawarkan suatu program khususnya perpajakan, inputnya adalah pemilih dapat menilai, mengevaluasi dan menentukan preferensinya dengan basis sikap yang rasional agar setiap masyarakat memeroleh manfaatnya dari capres yang dipilih.

Namun, capres akan memaksimumkan regulasi, kebijakan, program dan anggaran semaksimal mungkin, walaupun dalam programnya terdapat keunggulan dan kekurangan. Pada akhirnya, masyarakatlah yang mampu menilai dengan menggunakan pilihan rasional yang terbaik layaknya seorang ‘detektif pajak’.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.