SEBAGAI negara berkembang yang mulai menjadi negara industri, dampak yang dirasakan Indonesia tidak hanya dari aspek ekonomi, tetapi juga dari aspek lingkungan. Topik kerusakan lingkungan yang sering menjadi headline pemberitaan adalah bukti seriusnya kerusakan lingkungan di Tanah Air.
Sebagai contoh di penghujung 2018, publik Indonesia dan dunia digemparkan dengan penemuan bangkai paus sperma yang memakan sampah plastik di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah pun tidaklah sedikit.
Anggaran milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencapai Rp 8 triliun. Kementerian Keuangan sebagai regulator kebijakan fiskal harus memutar otak bagaimana dengan pendapatan negara yang terbatas, pemerintah mampu memberi ruang bagi pemulihan lingkungan hidup.
Hingga pada 2017, Pemerintah Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. Dalam aturan tersebut pemerintah merancang tiga bentuk pendanaan yang akan digunakan untuk proses pemulihan lingkungan hidup.
Ketiga bentuk pendanaan tersebut, yakni Dana Jaminan Pemulihan Lingkungan Hidup (DJPLH), Dana Penanggulangan Pencemaran dan/ atau Kerusakan Pemulihan Lingkungan Hidup (DP2KPLH), serta Dana Amanah/ Bantuan Konservasi.
Sumber dana yang digunakan untuk menopang ketiga bentuk pendanaan tersebut berasal dari APBN, APBD, dana hibah, serta pajak dan retribusi lingkungan hidup. Sumber pendanaan yang terakhir disebut inilah yang menarik untuk dibahas.
Merujuk Pasal 38 Ayat 2 Poin B Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2017, pajak lingkungan hidup diterapkan oleh pemerintah pusat dan daerah bagi mereka yang memanfaatkan sumber daya alam berdasarkan kriteria dampak lingkungan hidup.
Kegiatan yang termasuk dalam upaya pemanfaatan atau penggunaan sumber daya alam antara lain pemanfaatan air tanah, pemanfaatan air permukaan, sarang burung walet, penggunaan kendaraan bermotor, dan lain-lain. Semakin besar dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan tersebut terhadap lingkungan, maka makin besar pula pajak yang harus ditanggung.
Pemberlakuan pajak lingkungan hidup lewat disahkannya Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2017 adalah langkah penting yang dilakukan oleh rezim Joko Widodo untuk tetap berkomitmen pada isu-isu lingkungan hidup.
Selain itu, kebijakan tersebut dapat menjadi salah satu modal penting yang bisa digunakan petahana dalam menghadapi Pemilihan Presiden 2019. Hal ini dikarenakan, membawa narasi pajak lingkungan hidup sebagai materi kampanye petahana dapat menjadi oase ditengah hiruk-pikuk kampanye yang hingga saat ini masih jauh dari kata substantif. Saling mengolok, saling mencibir, penggunaan politik identitas masih menjadi topik yang diminati oleh para lakon politik di Tanah Air sampai detik ini.
Menggunakan gagasan pajak lingkungan hidup sebagai materi kampanye mempertegas janji kubu petahana dalam upaya meningkatkan pendapatan negara. Selain mengusung reformasi pajak sebagai program andalan, janji lain yang diutarakan oleh calon petahana adalah sinergi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil guna memperbaiki ketersediaan sumber pembiayaan, menurunkan tingkat bunga, sekaligus mendorong produksi nasional.
Gagasan pajak lingkungan dalam hal ini bisa dijadikan bukti bagi kubu petahana bahwa sudah ada langkah serius di periode dalam mewujudkan reformasi pajak serta perbaikan ketersediaan sumber pembiayaan.
Menghadirkan pajak lingkungan hidup dalam materi kampanye secara tidak langsung juga memengaruhi citra kubu petahana dalam isu lingkungan hidup. Dalam periode pertamanya menjabat sebagai presiden, acapkali Jokowi menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur, industrialisasi, dan dukungan penuh pada perkebunan sawit.
Hal-hal tersebut sering dilihat oleh berbagai pihak utamanya aktivis lingkungan sebagai sisi gelap pemerintahan Jokowi terhadap isu-isu lingkungan hidup. Tidak jarang pula berbagai pihak mengkritik Jokowi terkait ketiga hal tersebut.
Dengan lahirnya kebijakan pajak lingkungan hidup, selain meningkatkan pendapatan negara dari pajak sekaligus dapat menjadi alat yang memperbaiki citra yang melekat pada kubu petahana terkait isu-isu lingkungan.
Membawa gagasan pajak lingkungan hidup juga mendongkrak citra Joko Widodo sebagai persona yang tegas dan berani. Citra ini perlu mengingat survei yang di lakukan Indikator Politik Indonesia menunjukkan hal yang kurang memuaskan bagi kubu petahana.
Mengutip situs Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, pajak lingkungan hidup atau green tax sudah diwacanakan sejak 2010. Akan tetapi, wacana ini segera padam akibat kecaman dan penolakan dari kalangan pebisnis dan pengusaha.
Dengan terwujudnya pajak lingkungan hidup pada periode pertama beliau menjabat, Jokowi dapat menjawab balik anggapan berbagai pihak yang memandang beliau sebagai individu yang tidak tegas dan berani layaknya calon presiden yang diusung oleh pihak oposisi.
Dengan sisa waktu kampanye kurang-lebih empat bulan, kubu petahana wajib melepaskan diri dari kontestasi politik yang tidak sehat. Sudah saatnya bagi kubu petahana untuk melepaskan diri dari diksi-diksi yang justru memperkeruh suasana politik, seperti ‘politisi genderuwo’, ‘politisi sontoloyo’, dan sebagainya.
Empat bulan menjadi waktu yang harus dimaksimalkan oleh kubu petahana untuk menyampaikan berbagai program, utamanya dalam kebijakan fiskal. Hadirnya kebijakan pajak lingkungan hidup selain menjaga komitmen petahana akan isu lingkungan, juga dapat menjadi senjata baru bagi kubu petahana dalam merealisasikan janji mereka perihal reformasi pajak dan perbaikan sumber pembiayaan.
Debat capres dan cawapres yang diselenggarakan antara bulan Januari hingga April 2019 diharapkan menjadi panggung kubu petahana meyakinkan seluruh masyarakat Indonesia bahwa pajak lingkungan hidup adalah salah satu realisasi reformasi pajak dan pembiayaan negara sekaligus komitmen petahana dalam memperbaiki kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di Bumi Pertiwi.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.