LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Pentingnya Reedukasi Pajak untuk Penerimaan Negara yang Berkelanjutan

Redaksi DDTCNews
Kamis, 10 Januari 2019 | 14.35 WIB
ddtc-loaderPentingnya Reedukasi Pajak untuk Penerimaan Negara yang Berkelanjutan
Muhamad Iqbal Hutanto,
S1 Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya.

PROBLEMATIKA yang dihadapi Indonesia tentang buta akan pajak mengakibatkan kurangnya pemahaman tentang pajak. Kondisi ini memunculkan sikap apatis terhadap pajak. Alih-alih melihat ada kepentingan kemakmuran rakyat dari pembayaran pajak, banyak masyarakat justru melihat pajak sebagai aspek yang merugikan karena memangkas pendapatannya. Dalam situasi ini, bukan tidak mungkin akan terjadi permasalahan yang lebih kompleks jika pembayaran pajak tetap dipaksakan.

Padahal, pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Untuk melaksanakan pembangunan dibutuhkan dana yang tidak sedikit, dan ditopang melalui penerimaan pajak. Oleh karena itu, pajak sangat dominan dalam menopang pembangunan. Jika tidak ada penerimaan, negara sulit untuk mewujudkan pembangunan yang berimplikasi pada kesejahteraan.

Bagaimanapun, pajak memiliki berbagai fungsi. Pertama, budgeting (Anggaran). Pajak merupakan salah satu sumber dan yang digunakan pemerintah dan bermanfaat untuk membiayai pengeluaran negara. Kedua, regulasi. Pajak merupakan alat mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Ketiga, stabilitas. Pemungutan pajak yang efektif dan efisien dapat memberikan stabilitas bagi perekonomian. Keempat,redistribusi pendapatan. Penerimaan negara dari pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan pembangunan nasional sehingga dapat membuka kesempatan kerja dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

Sayangnya, keengganan masyarakat membayar pajak berdampak negatif pada upaya pemungutan target penerimaan pajak itu sendiri. Pola pikir yang kurang tepat terhadap pajak di masyarakat telah merambat pada indikator kepatuhan wajib pajak yang lemah. Hal ini tentu berdampak pada upaya pemungutan pajak. Selain itu, ada beberapa aspek lain yang menjadi kendala pemerintah dalam mengamankan penerimaan negara.

Pertama, tingginya shadow economy di Indonesia. Dari sudut pandang perpajakan, shadow economy disebut sebagaihard to tax sectors. Beberapa penelitian menyatakan bahwa besaran shadow economy di negara berkembang seperti Indonesia bisa mencapai 30%-40% terhadap produk domestik bruto (PDB). Besaran angka tersebut mencerminkan potensi kerugian negara dari sektor pajak yang diakibatkan aktivitas shadow economy.

Kedua, struktur penerimaan pajak yang tidak berimbang. Apalagi, pajak penghasilan (PPh) badan menyumbang sekitar 25%-28% terhadap penerimaan pajak dalam negeri. Ini jauh berbeda dengan negara maju yang menyumbang 11% dari total penerimaan pajak. Kondisi ini memunculkan risiko kerentanan karena penerimaan pajak dari PPh badan berkorelasi langsung dengan kinerja sektor tertentu.

Ketiga, rendahnya tax buoyancy. Berdasarkan data historis, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak sejalan olehpertumbuhan penerimaan perpajakan. Dalam hal ini, terdapat potensi penerimaan perpajakan dari kegiatan ekonomi yang tidak dapat ditangkap secara optimal. Tax bouyancy menjadi sangat penting untuk mewujudkan penerimaan perpajakan yang berkelanjutan seiring dengan tumbuhnya ekonomi. Kondisi ini memiliki kaitan yang erat dengan tinggishadow economy dan kepatuhan pembayar pajak yang rendah.

Keempat, rumitnya administrasi dan perubahan kebijakan perpajakan yang cepat. Kondisi ini tidak memberikan kepastian bagi wajib pajak.Tidak mengherankan pula jika kepatuhan sukarela masyarakat Indonesia dalam membayar pajak cukup rendah.

Reedukasi

Untuk itu reedukasi pajak sangat penting untuk dilakukan untuk meluruskan pemikiran masyarakat mengenai iuran wajib yang dikeluarkan. Reedukasi pajak ini dapat dilakukan oleh para relawan yang memahami pajak. Para relawan ini direkrut melalui pengumuman yang disebarkan. Hal ini bertujuan agar apa yang disampaikan pada nantinya akan memudahkan masyarakat dalam membayar pajak serta melatih kepedulian masyarakat yang mengerti pajak untuk di informasikan kepada yang lain.

Reedukasi tentang pajak dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, tahap open recrutment relawan. Dalam tahap ini, pemerintah membuka pendaftaran relawan yang akan membantu pelaksanaan reedukasi pajak terhadap masyarakat. Relawan yang akan diterima tentunya yang memiliki pemahaman tentang pajak, mampu bekerjasama selama pelaksanaan berlangsung, dan secara sukarela mengabdikan dirinya untuk pendidikan masyarakat mengenai pajak.Calon relawan yang mendaftar bisa dari berbagai kalangan, tanpa batasan.

Kedua, tahap pengarahan. Dalam tahap ini, ada pengarahan terkait teknis kegiatan yang akan dilakukan para relawan. Relawan yang diterima dikumpulkan untuk diberi pengarahan sesuai dengan pelaksanaannya nanti. Pemantapan teknis juga dilakukan di sini agar tidak ada kesalahan informasi yang disampaikan ke publik. Dengan demikian, pemahaman pajak dapat disampaikan dengan tepat dan cepat kepada masyarakat.

Ketiga, tahap simulasi. Dalam tahap ini, para relawan akan dilatih. Pelatihan ini sebagai upaya pembuktian bahwa apa yang sudah diterima sebelumnya telah sampai pada pemahaman relawan reedukasi pajak. Harapannya, relawan reedukasi pajak percaya diri dan maksimal dalam melakukan tugasnya di kemudian hari.

Keempat, tahap reedukasi. Dalam tahap ini, relawan akan terjun langsung ke lapangan untuk melakukan tugasnya dalam memberikan reedukasi tentang pajak terhadap masyarakat. Reedukasi yang diberikan dengam strategi dan metode yang akan menunjang keberhasilan. Pemantapan-pemantapan yang sudah dilatih dan ditransfer dapat diaplikasikan dengan sebaik mungkin.

Reedukasi pajak dapat dilakukan di berbagai daerah yang memungkinkan, terutama di daerah dengan partisipasi pembayaran pajak terendah. Namun, tidak menutup kemungkinan juga, reedukasi dilakukan dengan partisipasi pembayaran pajak tertinggi. Hal ini dilakukan untuk reedukasi kepada masyarakat yang pemahamannya rendah maupun kepada masyarakat yang pemahamannya tinggi.

Survei global OECD pada 2015 misalnya, juga menginformasi bahwa edukasi pajak adalah sebuah mekanisme yang efektif untuk membangun kepercayaan masyarakat kepada otoritas pajak sekaligus mendorong keterlibatan masyarakat dalam merumuskan kebijakan.

Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah selaku pemungut pajak dapat dibangun melalui reedukasi. Melalui reedukasi ini, pemahaman pajak sangat bermanfaat bagi masyarakat maupun pemerintah. Komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah tentang pajak dapat diatasi dengan cara reedukasi masyarakat tentang pentingnya sebuah pajak. Bukan hanya itu, masyarakat diharapkan selalu mencari informasi tentang pajak dan senantiasa taat pajak.

Masyarakat akan mengetahui masuk dan keluarnya penerimaan dari pajak. Rasa khawatir atas dana yang dikeluarkan untuk membayar pajak juga akan berkurang. Sehingga pada nantinya masyarakat akan taat pada pajak dan membayar iuran wajib tepat pada waktunya. Jika hal itu terjadi maka penerimaan negara melalui pajak akan semakin meningkat.

Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap pajak yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan undang-undang. Itu berarti setiap pemungutan pajak terlebih dahulu mendapat persetujuan rakyat yang dipresentasikan dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam bentuk undang-undang. Dengan demikian, pungutan pajak sepenuhnya akan kembali ke rakyat, untuk kesejahteraan dan kemakmuran. *

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.