LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Kontrak Pajak dan Kepatuhan Wajib Pajak

Redaksi DDTCNews
Kamis, 03 Januari 2019 | 12.10 WIB
ddtc-loaderKontrak Pajak dan Kepatuhan Wajib Pajak
Chris Adriel Runkat,
Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra Surabaya

KONTRAK sosial adalah kesepakatan antara rakyat selaku wajib pajak dan negara yang diwakili otoritas pajak. Masing-masing pihak bersepakat untuk membentuk komitmen yang memberikan kontribusi bermanfaat. Janji pemerintah kepada rakyat adalah kontrak sosialnya.

Kontrak sosial dalam konteks perpajakan dikaitkan dengan kepatuhan wajib pajak. Ketika pemerintah tidak mampu mengalokasikan kebermanfaatan pajak secara adil, merata, dan mereduksi perilaku korupsi para oknum pejabat publik, dipastikan akan terjadi keretakan dalam kontrak sosial.

Hal itu ditandai dengan wajib pajak yang mempersukar pemungutan, tax avoidance, dan tax evasion hingga mengurangi penerimaan pajak. Kontrak sosial bukanlah kontrak biasa, tetapi kontrak politik antara negara dan rakyat, antara otoritas pajak dan wajib pajak. Pengabaian kontrak politik akan meniadakan konstituen. 

Berdasarkan data, kepatuhan masyarakat meningkat dibuktikan dengan tingkat penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi (OP). Hingga 31 Maret 2018 telah masuk 10,59 juta SPT, naik 14% dibandingkan dengan tahun 2017. Jumlah wajib pajak (WP) yang terdaftar Maret 2018 adalah 38.651.881 dan 17.653.963 di antaranya wajib menyampaikan SPT.

Dari jumlah tersebut, yang menyampaikan SPT tahun pajak 2017 adalah 10.589.648 atau 59,98%. Juga terjadi peningkatan pada jumlah penyampaian SPT tahunan non-karyawan (kode 1770) yang naik 30,5% dari 761.335 jadi 993.754 dan jumlah SPT tahunan karyawan (kode 1770S dan 1770SS) sebesar naik 12,4% dari 8.320.906 jadi 9.351.810.

Penggunaan SPT secara elektronik (e-filing dan e-form) semakin tinggi pada tahun 2018, ditunjukkan dengan pertumbuhan 21,6% pada jumlah SPT yang disampaikan, yakni mencapai 80,13% dari seluruh SPT yang dilaporkan.

Walaupun meningkat, kepatuhan pajak masih rendah karena tax coverage ratiohanya 72% dan tax ratio juga masih rendah, berkisar 11%-12%. Angka ini masih di bawah Filipina sebesar 14% dan Korea Selatan 25%.

Menurut data amnesti pajak 2018, sebanyak 965.983 WP mengikuti, dengan Rp4.865 triliun deklarasi harta, Rp114 triliun uang tebusan, dan Rp147 triliun repatriasi dana. Sayangnya, data ini tidak diungkap melalui SPT dan baru diungkap ketika ada tax amnesty karena kebanyakan orang takut kalau diberi ‘ancaman’.

Penyebab rendahnya kepatuhan masyarakat adalah mereka tahu tentang pajak, tetapi belum tahu kewajiban melaporkan SPT. Faktor yang membuat seseorang tidak patuh antara lain merasa terbebani dengan pajak.

Selain itu, juga akibat prosedur perpajakan yang rumit, merasa tidak ada manfaatnya, akses pelayanan perpajakan tidak memadai, anggapan pajak tidak dikelola dengan benar, dan tidak tahu cara dan waktu yang tepat untuk daftar Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Karena itu, Ditjen Pajak (DJP) harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang difokuskan dengan hak, kewajiban, dan manfaat perpajakan. Pelayanan berbasis teknologi juga harus ditingkatkan seperti pemberdayaan KP2KP (Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan), mobil pajak keliling, dan pojok pajak.

Lalu, setiap orang harus diperlakukan sama ketika berurusan dengan kantor pajak agar citra DJP baik di mata masyarakat. DJP juga bisa membantu WP melaksanakan self-assessment agar mereka tidak terkena sanksi karena melanggar UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Pasal 38-43A terkait dengan pidana pajak. Berikan insentif kepada fiskus yang berprestasi menurut KUP Pasal 36D agar merangsang penerimaan pajak.

Peningkatan pajak juga harus disertai pengalokasian yang baik untuk infrastruktur seperti Belgia dengan PPh tinggi antara 25%-50% tetapi mereka menjamin layanan kesehatan, pendidikan gratis, dan jaminan sosial untuk warganya.

Di Indonesia, pajak yang tinggi tanpa penghapusan korupsi, tidak akan berguna seperti Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Ambon yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 4 Oktober 2018 karena menerima suap dari pengusaha untuk mengurangi tagihan pajaknya.

Kalau mau pendapatan pajak meningkat, maka UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus dilaksanakan secara total agar para koruptor jera, sehingga WP rajin membayar pajak.

Pemerintah juga bisa meningkatkan cukai rokok karena penerimaan negara dari cukai per 29 Juni 2018 telah mencapai Rp 50,21 triliun dari target APBN yaitu Rp155,40 triliun. Sejauh ini, cukai tembakau sudah mencapai Rp47,76 triliun di atas minuman alkohol dan etil alkohol yang hanya Rp2,45 triliun.

Setiap tahun, jumlah perokok semakin meningkat karena lebih dari 36,3% penduduk Indonesia adalah perokok. Dengan ditingkatkan cukai, harga rokok semakin mahal sehingga pendapatan pajak dari cukai semakin tinggi.

Kebijakan ini akan menekan perokok agar mau bertobat dan pastinya akan mengurangi anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang terbuang sia-sia karena pengobatan pasien perokok yakni defisit Rp11,8 triliun.

Kepatuhan yang dibangun berdasarkan kontrak sosial adalah kepatuhan saling menguntungkan antara kedua pihak yang mengikat janji. Jika kontrak sosial dalam konteks perpajakan dilaksanakan secara baik dan benar, siapapun presidennya, Indonesia akan menjadi negara yang makmur dan sejahtera.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.