AGENDA pemilihan presiden pada April 2019 akan segera memasuki periode kampanye dari masing-masing calon. Hingar bingar kampanye santer disuarakan hingga pelosok negeri. Media massa didukung dengan kecanggihan era digital menyumbang banyak peranan untuk saling mengabarkan berbagai program yang diusung masing-masing capres. Banyak ranah yang dijanjikan, mulai dari kesejahteraan masyarakat, kehidupan sosial, politik, hingga stabilitas ekonomi.
Salah satu aspek yang disoroti dari program yang diusung kedua pasangan capres adalah stabilitas ekonomi. Menyinggung ranah ekonomi, sudah tidak heran bila pemikiran kita akan mengarah pada isu perpajakan. Isu perpajakan menjadi salah satu isu sentral dalam visi-misi dua pasangan kandidat pemimpin Indonesia. Baik Jokowi-Ma’aruf maupun Prabowo-Sandi mejadikan perpajakan sebagai salah satu fokus pembenahan jika terpilih nanti.
Bagaimanapun, pelaksanaan APBN 2018 mendapatkan banjir pujian. Pertumbuhan penerimaan pajak pada kisaran 15%-16% dianggap cukup stabil dan lebih baik jika dibadingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Capaian ini disebut-sebut juga dipengaruhi adanyakebijakan pemerintah yang responsif terhadap perubahan kondisi perekonomian internasional.
Melemahnya rupiah yang kemudian dihadapi dengan kebijakan menaikkan PPh impor dinilai sangat tepat. Hal positif juga dilakukan dengan kebijakan menurunkan tarif PPh Final menjadi 0,5% bagi pelaku UMKM. Terlepas dari banyaknya puja dan puji tersebut, perpajakan Indonesia ke depan masih menantang dan menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.
DDTC Fiscal Research menyoroti selisih potensi dan realisasi pajak (tax gap) di Indonesia masih cukup besar. Sekitar 57% potensi pajak di Indonesia belum tergali. Salah satunya disebabkan oleh kelemahan administrasi yang berakibat pada tidak optimalnya kepatuhan wajib pajak. Untuk itu, upaya peningkatan kesadaran berpajak masyarakat Indonesia juga harus ditekuni.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, salah satunya adalah tingkat religiositas. Kepatuhan membayar pajak merupakan salah satu tanggung jawab bagi pemerintah dan rakyat kepada Tuhan, dimana memiliki hak serta kewajiban yang harus dimiliki pemerintah serta rakyat (Tahar, 2014).
Kewajiban dari pemerintah adalah melakukan pengaturan penerimaan dan pengeluaran sehingga berhak untuk melakukan pemungutan atas rakyat berdasar perundang-undangan yang berlaku. Rakyat sendiri memiliki kewajiban dalam membayar pajak dan berhak untuk mengawasi penggunaan iuran yang telah dibayarkan kepada negara.
Kedua pihak saling terkait. Oleh karena itu, diperlukan peran pemerintah dan rakyat dalam menciptakan kemandirian suatu negara terutama Indonesia, dengan kepercayaan bahwa ada Tuhan yang selalu mengawasi tanggung jawab dimasing-masing pihak.
Wajib pajak yang memiliki religiositas tinggi diharapkan memiliki kepatuhan pajak yang tinggi. Sesuai dengan penelitian Pope dan Mohdali (2010) yang dikutip dalam Tahar (2014), religiositas yang tinggi akan memengaruhi perilaku wajib pajak untuk melakukan pembayaran pajak serta dapat mengontrol dirinya untuk tidak melakukan penipuan pajak.
Religiositas yang diteliti oleh Basri dkk. (2010) mengungkapkan bahwa adanya niat dari wajib pajak berpengaruh terhadap kepatuhan pajak. Ini dikarenakan religiositas dapat mencegah perilaku yang menyimpang dari undang-undang, terutama dalam hal perpajakan. Kepatuhan pajak adalah bagian dari ibadah, religiositas menjadi penghalang bagi wajib pajak untuk berperilaku tidak etis (Fidiana 2014).
Hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian Tahar (2014) yang menyebutkan bahwa pemahaman agama tidak memengaruhi tindakannya dalam membayar pajak meskipun tingkat pemahaman agama/religiositas wajib pajak tinggi. Selain itu, kepatuhan membayar pajak dari setiap orang berbeda-beda sehingga religiositas tidak mencerminkan niatnya untuk patuh membayar pajak.
Pada dasarnya, manusia memiliki hubungan dengan Tuhan untuk mengarahkan dirinya dalam hidup sehingga tidak terjerumus pada hal-hal yang melanggar aturan-Nya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Budiarto (2018) yang menyebutkan bahwa oleh pemahaman agama tidak berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak.
Dari berbagai macam penelitian yang diuraikan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa orang atau pihak yang membela agama dengan tekun dan yakin akan melaksanakan kewajiban perpajakan dengan tertib. Meskipun hal ini tidak selamanya benar, tapi idealnya memang harus seperti itu.
Sentimen religiositas akhir-akhir ini memang sedikit menyimpang. Dalam ranah pemilihan calon presiden sekalipun, kedua kandidat ditantang untuk mengikuti tes baca Alquran oleh masyarakat Aceh. Hal ini memang sedikit janggal karena pemilihan calon presiden disangkutpautkan dengan hal-hal yang bersifat pribadi seperti agama.
Poin pentingnya adalah ketika masyarakat begitu sentimen terhadap urusan religius, seharusnya mereka juga mampu untuk melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai perintah. Semoga tidak hanya memanas dalam mencari siapa yang paling benar.
Masyarakat juga seharusnya bijaksana dalam memegang agamanya untuk melaksanakan kewajiban perpajakan sebagai warga negara yang taat terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan ketentuan yang sudah ada. Dengan begitu, masalah fundamental perpajakan di Indonesia dapat diatasi dan penerimaan pajak dapat dioptimalkan.*