Ilustrasi. (baranq/Shutterstock)
SEORANG bos pemilik pabrik besar sedang pusing mencari seorang manajer. Ia membutuhkan manajer baru untuk divisi yang menentukan hidup matinya perusahaan, divisi keuangan. Manajer yang lama ia pecat karena tidak memahami kondisi perusahaan.
Namun, sampai di hari wawancara kerja, bos ini tidak menanyakan pemahaman para pelamarnya mengenai kondisi perusahaan. Sebagai gantinya, ia hanya bertanya satu hal. Satu pertanyaan simpel: “Berapa dua tambah dua?”
Pelamar pertama yang diwawancarainya adalah seorang wartawan ekonomi. Wartawan ini terhitung senior karena sudah banyak meliput agenda bisnis di luar negeri. Pelamar ini menjawab pertanyaan itu dengan cepat. “Dua puluh dua,” katanya yakin.
Pelamar kedua yang diwawancarainya adalah seorang pekerja sosial yang menyukai matematika. Ia ternyata bisa menjawab dengan tangkas. “Saya tidak tahu jawabannya, tetapi saya sangat senang punya banyak kesempatan untuk membahasnya,” katanya.
Pelamar ketiga adalah seorang insinyur sipil yang pernah belajar ekonomi. Mendapatkan pertanyaan yang mengagetkan itu, ia pun segera mengeluarkan mistar gesernya, melihatnya cermat, lalu berkata. “Di suatu tempat antara 3,999 dan 4,001,” katanya.
Berikutnya seorang pengacara pajak yang mulai tertarik belajar keuangan. Awalnya ia berputar-putar menjelaskan banyak hal. Namun, akhirnya ia sampai pada kesimpulan. “Dalam kasus kami melawan Ditjen Pajak waktu itu, dua tambah dua terbukti empat.”
Pelamar terakhir adalah seorang akuntan. Ketika pertanyaan seperti itu dilempar kepadanya, ia langsung bangkit dari kursi, pergi ke pintu, menutupnya, lalu kembali duduk. “Berapa yang Anda inginkan?” katanya dengan suara rendah.
“Selamat, Anda diterima!” kata bos itu dengan gembira. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.