Ilustrasi. Pelaku UMKM merapikan tas jualannya saat Pameran UMKM MTQ V Korpri 2021 di MTQ Square, Kendari, Sulawesi Tenggara, Minggu (14/11/2021). ANTARA FOTO/Jojon/YU
JAKARTA, DDTCNews – Tarif pajak pertambahan nilai (PPN) final sebesar 1%-3% dinilai menjadi tarif yang ideal dikenakan untuk pelaku UMKM.
Hal tersebut tergambar dari hasil survei yang dilakukan bersamaan dengan debat DDTCNews periode 21 Oktober—8 November 2021. Seperti diberitakan sebelumnya, dari jumlah pemberi komentar tersebut, sebanyak 66,67% menyatakan setuju dengan penerapan PPN final untuk UMKM.
Dari 177 pengisi survei tersebut, sebanyak 85,3% menilai tarif sebesar 1%-3% ideal digunakan dalam skema PPN final untuk UMKM. Sisanya menilai tarif yang ideal antara 4% hingga 11%. Hal ini sejalan dengan beberapa komentar peserta dalam kolom debat.
Wahyu A. Siregar mengatakan pengenaan tarif yang relatif moderat antara 1% hingga 2% tidak akan memberatkan pelaku UMKM. Apalagi, UMKM juga telah memanfaatkan skema pajak penghasilan (PPh) final 0,5%.
“PKP yang termasuk golongan ‘menengah’ dalam UMKM justru akan makin diuntungkan karena beban pajak akan lebih rendah daripada menggunakan tarif lama,” ujarnya.
Seperti diketahui, dalam PMK 74/2010 diatur ketentuan yang memungkinkan PKP dengan peredaran usahanya tidak lebih dari Rp1,8 miliar dalam 1 tahun untuk menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan.
Bila menggunakan pedoman penghitungan tersebut, pajak masukan yang dapat dikreditkan atas penyerahan JKP sebesar 60% dari pajak keluaran dan penyerahan BKP sebesar 70% dari pajak keluaran. Artinya, PKP menyetorkan PPN 4% atas penyerahan JKP atau 3% atas penyerahan BKP.
Selain itu, sebanyak 45,7% pengisi survei menilai dasar pengenaan pajak (DPP) terkait dengan PPN final sebaiknya menggunakan peredaran bruto. Di sisi lain, ada 41,1% pengisi survei yang memilih nilai transaksi sebagai DPP.
Sejumlah pengisi kolom komentar debat juga mengimbau pemerintah untuk berhati-hati dalam menentukan tarif dan DPP dalam pengenaan PPN. Hal tersebut sama krusialnya dengan penentuan sektor dan batasan omzet. Simak ‘Soal Batasan Omzet dan Sektor Pengguna PPN Final, Ini Hasil Surveinya’.
“Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam menerapkan dasar pengenaan pajaknya. Jangan sampai niat baik ini malah menjadi beban bagi para pengusaha UMKM umumnya, mikro dan kecil pada khususnya,” kata Agus Kurniawan.
Silaturachmi menilai pengenaan PPN final terhadap UMKM berisiko memberatkan konsumen sekaligus dapat memicu peredaran barang ilegal. Menurutnya, pengenaan PPN final akan berdampak pada harga jual barang yang diproduksi UMKM yang bisa makin tinggi.
“Untuk dasar pengenaan tarif PPN final sebaiknya dikenakan berdasarkan nilai transaksinya, bukan berdasarkan peredaran usahanya, sehingga nantinya pelaku UMKM tidak merasa terbebani,” katanya.
Seperti diketahui, pemerintah akan menerapkan skema pemungutan PPN final mulai 1 April 2022. Kebijakan tersebut sudah masuk dalam UU PPN s.t.d.t.d UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Sesuai dengan ketentuan dalam UU tersebut, pemungutan dan penyetoran PPN final dilakukan oleh pengusaha kena pajak yang mempunyai peredaran usaha dalam 1 tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu, melakukan kegiatan tertentu, dan/atau melakukan penyerahan barang atau jasa kena pajak (BKP/JKP) tertentu.
Adapun ketentuan mengenai jumlah peredaran usaha tertentu, jenis kegiatan usaha tertentu, jenis BKP tertentu, jenis JKP tertentu, serta besaran PPN final yang dipungut dan disetor akan diatur dalam peraturan menteri keuangan (PMK). Simak ‘UU HPP Diundangkan, Pemerintah Matangkan Aturan PPN Final’. (kaw)