JOHN MAYNARD KEYNES:

'In the Long Run, We Are All Dead'

Redaksi DDTCNews
Rabu, 28 Desember 2016 | 15.58 WIB
'In the Long Run, We Are All Dead'

John Maynard Keynes (1883-1946)

SEORANG gay yang penuh dengan joke nakal tetapi punya banyak pengikut seperti John Maynard Keynes sering punya kalimat yang tak mudah dilupakan. Tapi mungkin karena itu kadang-kadang ia disalahmengertikan, dan yang terparah, menjadi bahan kritik dan olok-olok.

Banyak politisi dan analis mengutip“In the long run, we are all dead,” yang ditulisnya pada 1923 untuk menyugesti bahwa ia tak peduli dengan masa depan, alias lebih memikirkan manfaat jangka pendek yang temporer meski dengan kenaikan utang dan kerusakan generasi mendatang.

“Dicekoki Keynes,” kata Bung Karno tahun 1957. “Faktanya memang Keynes tak punya anak karena dia gay,” kata Niall Ferguson, sebelum akhirnya meminta maaf setelah mengetahui Keynes pernah menikah dengan seorang perempuan balerina Rusia yang mengalami keguguran.

Seorang profesor dari Harvard seperti Ferguson tentu bisa salah, apalagi ketika berbicara tentang sesuatu yang tak dipahaminya. Ia mungkin lupa apa sebenarnya yang hendak disampaikan Keynes dalam risalah berjudul The Tract on Monetary Reform, sumber dari kutipan populer itu.

Sebab dalam risalah tersebut, Keynes jelas-jelas menggunakan kalimatnya untuk mengkritik pandangan para ekonom mainstream yang dalam situasi depresi besar ketika itu masih bisa berkata dengan tenang dan percaya diri, bahwa setelah badai berlalu, laut akan tenang kembali.

“The long run is a misleading guide to current affairs. In the long run we are all dead. Economists set themselves too easy, too useless a task if in tempestuous seasons they can only tell us that when the storm is past the ocean is flat again.”

Sebetulnya sudah jelas bagaimana Keynes tidak berargumen bahwa masyarakat harus tetap menikmati manfaat masa kini dan membiarkan masa depan mengalir begitu saja, dan karena itu, masa depan menjadi sesuatu yang tak penting untuk menyelesaikan persoalan hari ini.

Sebaliknya, ia menyerang mayoritas ekonom berpengaruh saat itu, yang percaya bahwa ekonomi adalah sebuah sistem ekuilibrium yang secara otomatis akan terus kembali ke titik imbangnya sendiri selama negara sabar duduk menunggu tanpa melakukan intervensi.

Keyakinan para ekonom neoklasik terhadap ‘tangan tak terlihat’ yang akan membuat ‘badai pasti berlalu’ itulah yang kemudian ditantangnya secara lebih terbuka dan serius, melalui sebuah risalah yang terbit 12 tahun kemudian, The General Theory of Employment, Interest and Money.

Inilah risalah di mana ia meyakini bahwa perekonomian bisa terperosok ke dalam sistem ekuilibrium di mana angka pengangguran melambung tinggi dan terus bertahan tinggi dalam jangka waktu yang lama—kecuali negara melakukan intervensi kebijakan untuk menyelamatkannya.

Tapi benarkah pemikiran itu? Jitukah resep yang ia perkenalkan? Yakinkah Keynes dengan teorinya sendiri? “It is better to be roughly right than precisely wrong,” katanya setelah era depresi besar berakhir. “But when somebody persuades me I am wrong, I change my mind.” (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.