llustrasi. (DItjen Pajak)
MULAI September 2020, seluruh wajib pajak yang memenuhi syarat menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23/26 elektronik ditetapkan sebagai pemotong PPh Pasal 23/26 yang wajib membuat bukti potong dan menyampaikan SPT Masanya sesuai dengan PER-04/PJ/2017.
Ketentuan dalam KEP-368/PJ/2020 ini sekaligus menandai implementasi penuh e-bupot 23/26 dan mengakhiri tahapannya, mulai dari KEP-178/2017 (15 WP), KEP-178/2018 (153 WP), KEP-425/2019 (1.745 WP), KEP-599/2019 (26 WP), KEP-652/2019 (15 KPP) dan KEP-269/2020 (KPP Pratama).
Kewajiban itu juga berlaku pada wajib pajak yang terdaftar sebelum atau sejak 1 September 2020, setelah wajib pajak tersebut memenuhi syarat menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23/26 elektronik seperti diatur dalam Perdirjen Pajak No. PER-04/PJ/2017.
Menurut perdirjen itu, bukti potong dan SPT Masa PPh Pasal 23/26 dapat berbentuk formulir kertas atau dokumen elektronik. Namun, bagi pemotong pajak yang telah memenuhi kriteria yang ditetapkan, wajib hukumnya menggunakan dokumen elektronik atau e-bupot.
Ada 4 kriteria untuk pemotong pajak yang wajib menggunakan e-bupot. Pertama, telah menerbitkan lebih dari 20 bukti pemotongan PPh Pasal 23/26 dalam satu masa pajak. Kedua, jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan PPh lebih dari Rp100 juta dalam satu bukti pemotongan.
Ketiga, sudah pernah menyampaikan SPT masa elektronik. Keempat, terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya, KPP di lingkungan Kanwil Ditjen Pajak (DJP) Jakarta Khusus atau KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar. Persyaratan tersebut tidak bersifat akumulatif
E-bupot adalah perangkat lunak yang disediakan laman www.pajak.go.id atau saluran tertentu yang ditetapkan DJP. Untuk mengakses e-bupot ini, pemotong pajak harus memiliki memiliki EFIN (Electronic Filing Identification Number), akun DJP Online, dan sertifikat elektronik.
Aturan e-bupot kali pertama ditetapkan 31 Maret 2017 melalui Perdirjen Pajak No. PER-04/PJ/2017. Namun, saat itu e-bupot belum siap digunakan, sehingga pelaporan bukti potong dan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 23/26 secara elektronik belum dapat dilakukan.
Pelaporan segala jenis SPT memang seharusnya sudah dapat dilakukan secara daring. Namun, karena belum siap, pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23/26 saat itu masih dilakukan di KPP melalui Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) dengan formulir kertas.
Karena itu, wajib pajak masih harus datang dan merelakan waktunya mengantre di KPP. Secara bertahap, aplikasi e-bupot kemudian diujicobakan di beberapa tempat dengan wajib pajak pemotong tertentu yang ditetapkan dengan keputusan Dirjen Pajak.
Kini dengan terbitnya KEP-368/PJ/2020 dan efektifnya e-bupot, pelaporan elektronik itu dapat diterapkan dalam skala penuh. Hal ini tentu membawa angin segar bagi wajib pajak. E-bupot memberi banyak manfaat dan kemudahan bagi wajib pajak sekaligus dapat meningkatkan pelayanan DJP.
Wajib pajak dapat membuat dan melaporkan pajaknya di mana dan kapan saja. Selain itu, bukti pemotongan elektronik ini juga dapat memberikan kepastian hukum terkait dengan status dan keandalan bukti pemotongan.
Dari sisi wajib pajak yang dipotong dan pemotong pajak, bukti potong dalam e-bupot ini akan masuk dalam prepopulated SPT Tahunan yang akan memudahkan proses pelaporan.
Bagi DJP, selain pengadministrasian SPT lebih efisien, skema tersebut juga bisa meyakinkan bahwa penghasilan yang dipotong melalui sistem ini akan dilaporkan dengan benar dalam SPT Tahunan wajib pajak penerima penghasilan yang dikenai potongan.
Aplikasi e-bupot merupakan terobosan jitu untuk menyederhanakan proses bisnis di bidang perpajakan. Dunia yang kini sudah serba digital dengan sendirinya menghadirkan tuntutan kehadiran aplikasi ini. Kita berharap DJP siap dengan infrastruktur teknologi guna mengamankan e-bupot ini. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.