JAKARTA, DDTCNews – Pajak atas nilai tanah atau disebut land value tax (LVT) merupakan salah satu variasi dari pajak atas properti, yang hanya dikenakan atas nilai tanah, tanpa memperhatikan penggunaan lahan tersebut.
Pajak properti, seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) yang berlaku saat ini, di mana besarnya dihitung berdasarkan nilai tanah dan bangunan, memberikan beban lebih besar kepada mereka yang membangun atau memanfaatkan tanah tersebut.
Hal ini terjadi karena pada saat yang sama, mereka yang membiarkan tanah itu tidak dimanfaatkan, secara tidak langsung mendapatkan reward dengan membayar pajak lebih rendah. Karena itu, di beberapa negara, LVT muncul sebagai pilihan untuk memajaki tanah tanpa mendistorsi pasar.
Informasi yang dihimpun DDTCNews menunjukkan, apabila ditinjau dari dari sejarahnya, LVT berkaitan dengan pajak tanah pada masa kuno, yang kurang lebih muncul setelah dikenalnya sistem pertanian (agrikultur).
Pada masa itu, pajak tanah dihitung berbasis hasil panen, di mana pajak dipungut dari sebagian hasil panen yang dibayar setiap tahun. Seiring dengan perkembangan zaman, pada abad ke-18 sekelompok ekonom Prancis yang dikenal dengan sebutan physiocrats mulai memperkenalkan perlunya LVT.
Banyak ekonom klasik seperti Adam Smith dan David Ricardo juga mengadvokasi pajak ini. Namun, ide pengenaan LVT praktis mulai populer sejak Henry George (1839-1897), ekonom, jurnalis, sekaligus filsuf berkebangsaan Amerika Serikat, merilis buku berjudul “Progress and Poverty” pada 1879.
Dalam buku itu, George berpandangan tanah merupakan barang yang bersifat tetap, dan perubahan nilainya diciptakan oleh masyarakat dan pekerjaan umum (seperti pembangunan infrastruktur publik). Dengan sifatnya itu pula, ia menyimpulkan, nilai ekonomi tanah akan menjadi sumber pendapatan negara yang besar.
Karena itu, masih dalam buku yang beberapa kali dicetak ulang tersebut, George menganjurkan agar negara menerapkan pajak tunggal (single tax) atas tanah. Pengenaan pajak ini diyakini akan dapat mengurangi atau menghilangkan kebutuhan atas pajak lainnya.
Pandangannya ini memberikan pengaruh signifikan terhadap sistem pajak tanah di Amerika Serikat dan negara-negara lain, seperti Denmark yang menerapkan grundskyld /ground duty sebagai komponen kunci dari sistem pajaknya (Kristensen, 1995).
Selain itu, LVT disebut sebagai pajak progresif karena memberikan beban pajak lebih besar kepada pemilik tanah idle atau tanah yang tidak dimanfaatkan, dibandingkan dengan mereka yang memanfaatkan tanah tersebut agar menjadi lahan yang lebih produktif. Hingga kini, LVT sudah diterapkan oleh lebih dari 30 negara.* (Berbagai sumber)
(Baca: Ini Daftar 31 Negara yang Menerapkan LVT)