Dwiki Agung Pebrianda,
PAJAK identik dengan uang dan pembangunan. Bagaimanapun bukankah pajak ada sebagai ongkos pembangunan? Perspektif ini tidak salah, tetapi kurang lengkap. Perlu disadari bahwa fungsi pajak tidak sebatas sumber keuangan negara (budgetair), tetapi juga pengatur (regulerend). Pun dengan pembangunan, aspek pentingnya tidak hanya uang, tetapi juga dukungan lingkungan sekitar (supporting environment).
Tanpa itu, uang pajak tidak akan memberikan hasil terbaiknya (the best bang for the buck). Adapun salah satu aspek penghambat lingkungan pendukung yang kondusif adalah harga faktor produksi. Faktor produksi ini beragam, mulai dari tenaga kerja, bahan baku, hingga properti.
Terkait dengan properti, harga sewa ataupun beli yang mahal salah satunya disebabkan keterbatasan tanah sebagai komponen terpenting. Tanah tidak bisa diproduksi sehingga jumlahnya relatif tetap. Artinya, ada permasalahan pasokan tetap (fixed supply) di tengah permintaan yang meningkat (growing demand).
Untuk menyikapi kondisi tersebut, solusi yang paling mungkin dilakukan adalah intensifikasi. Langkah ini dilakukan memperbanyak properti pada setiap jengkal tanah. Coba bandingkan antara satu bidang tanah seluas 72 meter persegi diisi satu rumah dan tiga rumah, opsi mana yang lebih mampu menurunkan harga properti?
Sayangnya, intensifikasi tanah tidak marak dilakukan. Salah satu alasan terbesarnya adalah keuntungan atas modal (capital gains). Bagi pemilik tanah, akan lebih menguntungkan jika pasokan terbatas sehingga harga melonjak tinggi karena adanya permintaan yang relatif banyak.
Selain itu, menimbun tanah lebih untung dibandingkan dengan membangun properti. Menimbun mungkin dilakukan karena biayanya (holding cost) rendah. Listrik, air, pemeliharaan, dan biaya lain adalah biaya yang melekat pada bangunan. Selain itu, ada faktor risiko investasi bagi investor. Membangun bukan hanya mahal, tetapi juga berisiko.
Isu tersebut menjadi krusial, terutama di daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Melonjaknya jumlah penduduk pada gilirannya akan meningkatkan permintaan properti, baik hunian maupun perkantoran (komersial). Alhasil, harga atau nilai tanah naik signifikan. Sayangnya, seperti yang dijelaskan sebelumnya, ‘insentif’ untuk membangun tidak sebesar menimbun.
Padahal, pemilik tidak ‘menciptakan’ tanah itu. Nilai tanah berasal dari aktivitas masyarakat di sekitarnya, bukan usaha pemilik. Tentu saja ini berbeda dengan pabrik yang memproduksi barang. Bisa dikatakan ‘untung’ properti merupakan ‘usaha’ publik yang dinikmati sendiri. Sementara ‘buntung’ karena mahalnya harga ditanggung bersama.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keuntungan berupa kenaikan nilai properti – yang dihasilkan oleh usaha bersama masyarakat – dinikmati individu pemiliknya. Sementara kerugian berupa tingginya harga properti – yang disebabkan oleh faktor individu – harus ditanggung masyarakat secara keseluruhan.
ATAS sebuah permasalahan, solusi terbaik langsung ke akar persoalan. Menurut penulis, solusi terbaik untuk isu terkait dengan tanah dan property itu berupa peningkatan ‘insentif’ membangun dan/atau penurunan ‘insentif’ menimbun. Land value tax (LVT) yang diperkenalkan Henry George pada abad ke-19 dapat dipertimbangkan.
LVT adalah pajak atas nilai pasar tanah, tanpa menghitung bangunan. Ilustrasi sederhananya, ada dua buah bidang tanah dengan luas dan nilai yang sama. Satu bidang tanah dibiarkan kosong. Sementara pada satu bidang tanah yang lain sudah dibangun properti. Nominal pajaknya sama. Dampak yang bisa terjadi adalah meningkatnya pembangunan sekaligus menurunnya penimbunan.
Makin banyak bangunan pada satu bidang, makin ringan pajak per bangunan atau per meter persegi. Misal, pajak atas satu bidang tanah senilai Rp1 juta. Jika bangunan 50 meter persegi maka pengenaan pajak senilai Rp20.000 per meter persegi. Sementara itu, jika bangunan 100 meter persegi maka pengenaan pajak senilai Rp10.000 per meter persegi. Dengan ini, membangun lebih menguntungkan karena mengurangi beban pajak riil.
LVT juga ‘menghukum’ tanah menganggur atau tidak dimanfaatkan (underutilized). Peningkatan nilai tanah akan diikuti dengan kenaikan pajak. Jika tidak menghasilkan, misalnya melalui sewa, tanah tersebut merupakan aset yang merugikan. Holding cost menjadi besar sehingga properti menjadi lebih mirip barang konsumsi alih-alih investasi.
Pertanyannya, bagaimana mekanisme penerapan LVT? Pertama, dasar pengenaan pajak (DPP) LVT haruslah mencerminkan nilai pasar. Aspek ini krusial karena DPP yang terlalu rendah atau tinggi berisiko mengakibatkan distorsi. Jika kelewat rendah maka ‘insentif’ tidak akan cukup kuat untuk ‘memaksa’ pemilik mengintensifikasi tanah mereka. Di sisi lain, DPP yang terlalu tinggi akan mendorong pembangunan lebih dari kebutuhan pasar – untuk menghindari nilai aset tergerus pajak – sehingga memunculkan risiko property bubble.
Oleh karena itulah, diperlukan adanya penyesuaian DPP secara berkala. Hal ini penting untuk menyeimbangkan antara keadilan dan kepastian. Di satu sisi, penyesuaian berkala untuk memastikan beban pajak sesuai dengan harga pasar sehingga sesuai dengan kemampuan pemilik.
Di sisi lain, penyesuaian berkala memberi kepastian terhadap pelaku pasar terkait dengan besaran beban pajak yang akan mereka tanggung. Hal ini krusial karena properti merupakan investasi yang besar dan berisiko sehingga butuh perhitungan matang untuk merencanakan ketepatan langkah.
Kedua, tarif harus cukup tinggi untuk menekan capital gains sehingga penimbunan tidak terlalu menguntungkan. Dengan asumsi apresiasi nilai tanah sebesar 5% per tahun. Dengan tarif 1% berarti capital gains sebesar 4%. Jika return sebuah bangunan 4% maka LVT tidak akan mengerek pembangunan. Mengapa? Karena return membangun (berisiko) sama dengan menimbun (bebas risiko/risk-free).
Contoh lain, asumsi tarif 5%. Walaupun tarif ini terbilang terlalu tinggi, dampaknya adalah tidak ada capital gains yang diperoleh. Dengan demikian, pemilik tanah hanya bisa untung dari intensifikasi, seperti membangun apartemen atau toko yang lalu dijual atau disewakan.
Dalam konteks Indonesia, sudah ada pengenaan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) yang kewenangannya diberikan kepada pemerintah daerah. Sayangnya, pajak ini kontraproduktif karena masih memperhitungkan bangunan sebagai DPP. Alhasil, pembangunan berarti kenaikan pajak.
Selain itu, penyesuaian DPP secara berkala belum dilakukan. Sejatinya, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, besarnya nilai jual objek pajak (yang menjadi DPP) ditetapkan setiap tiga tahun. Namun demikian, masih ada juga daerah yang tidak melakukan penyesuaian DPP sejak lama.
Meskipun LVT tidak populer, ada dua fakta yang sayangnya tidak bisa kita kesampingkan. Pertama, jumlah tanah tetap. Kedua, populasi penduduk makin banyak sehingga meningkatkan kebutuhan properti. Jika regulasi dan praktik sekarang tidak mendukung, mungkin sudah saatnya diubah. Presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, perlu mempertimbangkan hal ini.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.