Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Aspek pengawasan oleh otoritas terhadap wajib pajak kembali menjadi sorotan. Dalam melakukan pengawasan, Ditjen Pajak (DJP) ternyata memiliki daftar prioritas pengawasan (DPP).
List tersebut berisi nama-nama wajib pajak yang menjadi prioritas untuk dilakukan penelitian kepatuhan material dalam 1 tahun pajak berjalan. Adanya daftar prioritas pengawasan dinilai memudahkan account representative (AR) untuk menjalankan pengawasan secara lebih fokus dibandingkan dengan sebelumnya.
"Wajib pajak ada banyak. Pasti ada prioritas berdasarkan nilai transaksi yang kita ketahui, volume perdagangan yang mereka lakukan, dan dari pembelian yang mereka lakukan," kata Staf Ahli Menkeu Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti.
Perlu dicatat, tidak sembarang wajib pajak masuk dalam daftar prioritas pengawasan. Seorang wajib pajak bisa masuk dalam daftar prioritas pengawasan apabila yang bersangkutan diperkirakan tidak/belum melaporkan harta atau penghasilannya ke dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
Dengan adanya DPP, pengawasan bisa berfokus pada wajib pajak potensial. Selain itu, wajib pajak yang bersangkutan memang memiliki penghasilan yang belum dilaporkan serta belum dibayar pajaknya.
Lantas seperti apa mekanisme pengawasan terhadap wajib pajak yang masuk dalam DPP? Simak penjelasan lengkapnya pada artikel Awasi Wajib Pajak, DJP Punya Daftar Prioritas.
Selain topik tentang pengawasan, netizen juga banyak menyoroti wacana yang kembali digaungkan pemerintah, yakni perubahan threshold alias batas nilai penghasilan kena pajak (PKP) yang saat ini berlaku, senilai Rp4,8 miliar.
DJP punya alasan di balik munculnya ide untuk memangkas threshold PKP. Bonarsius Sipayung, Kasubdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP mengatakan saat ini threshold PKP yang berlaku di Indonesia tergolong tinggi bila dibandingkan dengan threshold di negara lain.
"Kalau kita lihat sekarang, threshold kita [PKP] Rp4,8 miliar itu hampir masuk kategori paling tinggi di dunia, yang melebihi kita itu Singapura," ujar Bonarsius.
Bonarsius mengatakan saat ini banyak oknum yang bersembunyi di balik threshold PKP tersebut meski omzet mereka sesungguhnya sudah melampaui Rp4,8 miliar.
"Yang membuat miris adalah banyak yang bersembunyi di situ, mengaku di bawah Rp4,8 miliar padahal secara riil sebenarnya berpuluh-puluh kali lipat dari situ. Ini karena tidak bisa kita jangkau mereka," ujar Bonarsius.
Lantas berapa angka ideal threshold PKP di Indonesia? Simak ulasan lengkapnya dalam artikel DJP Kembali Wacanakan Ubah Batas Omzet PKP Rp4,8 M, Bakal Diturunkan?.
Selain 2 artikel di atas, masih ada ulasan-ulasan lain yang cukup menyita perhatian netizen dalam sepekan belakangan. Berikut ini adalah 5 artikel perpajakan DDTCNews yang sayang untuk dilewatkan:
1. Kemendagri: Penetapan Target Pajak Daerah 2023 Harus Sesuai UU HKPD
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memerintahkan kepada pemerintah daerah (pemda) untuk menyusun target penerimaan pajak dan retribusi 2023. Angka target penerimaan tersebut harus sesuai dengan ketentuan Pasal 102 UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Pada pasal tersebut, target pajak daerah dan retribusi daerah harus dianggarkan dengan mempertimbangkan kondisi makroekonomi daerah serta potensi pajak dan retribusi.
"Penetapan target pajak daerah dan retribusi daerah dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit kebijakan makro ekonomi daerah, potensi pajak daerah dan retribusi daerah sesuai maksud Pasal 102 HKPD," bunyi Permendagri 84/2022.
2. Marketplace Pemerintah Sudah Pungut Pajak, e-Commerce Tunggu Waktu
Penunjukan platform marketplace pengadaan barang dan jasa pemerintah sebagai pemungut pajak melalui PMK 58/2022 adalah bentuk uji coba pemerintah sebelum menunjuk penyedia platform e-commerce secara umum untuk memungut pajak.
Staf Ahli Menkeu Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti mengatakan marketplace pengadaan barang dan jasa pemerintah memungut pajak secara langsung atas penghasilan yang diterima oleh rekanan pemerintah.
"Saat ini DJP akan bekerja sama dengan pihak marketplace. Kita akan menunjuk beberapa marketplace untuk menjadi pemotong pajak yang akan dilakukan oleh pelaku usaha di e-commerce. Ini diujicobakan pada beberapa marketplace pemerintah yang disebut Bela Pengadaan," ujar Nufransa.
3. Layanan Pemindahbukuan Sudah Bisa Online Lewat e-Pbk, Simak Caranya
Layanan pengajuan permohonan pemindahbukuan kini sudah bisa diakses secara online. Pemindahbukuan bisa dilakukan melalui aplikasi e-Pbk yang tersedia di laman pajak.go.id.
Namun, implementasi layanan e-Pbk ini masih dalam tahap piloting alias uji coba untuk 10 kantor pelayanan pajak (KPP) saja. Jika wajib pajak terdaftar pada 10 KPP yang ditunjuk sebagai pelaksana piloting e-Pbk maka wajib pajak bisa memanfaatkan layanan pemindahbukuan secara online tersebut.
"Apabila wajib pajak melakukan kesalahan pembayaran pajak, tak perlu lagi bingung karena sekarang dapat melakukan proses pemindahbukuan melalui e-Pbk secara daring. Tak perlu ke kantor pajak," cuit Ditjen Pajak (DJP) melalui akun resmi media sosialnya.
Kesepuluh KPP yang ditunjuk sebagai pelaksana uji coba e-Pbk adalah KPP Pratama Tigaraksa di Tangerang, KPP Pratama Semarang Barat, KPP Pratama Kebumen, KPP Pratama Jakarta Pluit, KPP Pratama Serpong di Tangerang Selatan, KPP Pratama Kosambi di Tangerang, KPP Pratama Bandung Cibeunying, KPP Pratama Surabaya Rungkut, KPP Pratama Gianyar di Bali, dan KPP Pratama Tangerang Barat.
4. Digitalisasi Administrasi Pajak Bakal Ubah Cara Kerja Konsultan Pajak
Perkembangan teknologi dan digitalisasi administrasi perpajakan dinilai bakal mengubah cara kerja konsultan pajak serta jasa-jasa yang ditawarkan oleh para pelaku profesi tersebut kepada wajib pajak.
Managing Partner DDTC Darussalam mengungkapkan dahulu hubungan antara otoritas pajak dan wajib pajak lebih bersifat konfrontatif. Hal tersebut disebabkan tidak adanya data yang bisa dijadikan pijakan oleh kedua belah pihak. Sementara pada masa mendatang dengan adanya digitalisasi, hubungan antara otoritas pajak dan wajib pajak akan bergeser menjadi kooperatif.
"Hubungan wajib pajak dan otoritas harus bersifat kooperatif karena semua sudah transparan. Cuma, transparansi yang diberikan wajib pajak harus diganjar oleh otoritas pajak dengan kepastian hukum," ujar Darussalam.
Lantas seperti apa peluang dan tantangan profesi konsultan pajak di masa mendatang? Simak artikel lengkapnya dengan menge-klik judul di atas.
5. Dampak Pilar 1 Tak Signifikan pada Penerimaan Pajak Negara Berkembang
Kajian terbaru dari South Centre, organisasi antarpemerintah negara berkembang, menunjukkan negara berkembang tidak akan mendapatkan tambahan penerimaan yang signifikan dari implementasi Pilar 1: Unified Approach.
Mayoritas negara berkembang memang akan mendapatkan tambahan penerimaan dari Pilar 1. Namun, tambahan penerimaan yang diterima diproyeksikan tak mencapai 1% dari penerimaan pajak saat ini.
"Tambahan penerimaan pajak dari Amount A Pilar 1 kemungkinan besar akan jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan pajak digital (digital services tax/DST) yang telah dipungut oleh beberapa negara," tulis South Centre dalam publikasinya yang bertajuk Evaluating the Impact of Pillars One and Two. (sap)