ITR ASIA TAX FORUM

Perusahaan Perlu Perhatikan Ketentuan Transfer Pricing di PMK 22/2020

Muhamad Wildan
Kamis, 25 Agustus 2022 | 16.42 WIB
Perusahaan Perlu Perhatikan Ketentuan Transfer Pricing di PMK 22/2020

Associate Partner International Tax and Transfer Pricing Services DDTC Yusuf Wangko Ngantung dalam diskusi panel bertajuk Tax Disputes in Indonesia dalam gelaran ITR Asia Tax Forum, Kamis (25/8/2022).

JAKARTA, DDTCNews - Perusahaan perlu mengantisipasi ketentuan transfer pricing yang termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 22/2020.

Associate Partner International Tax and Transfer Pricing Services DDTC Yusuf Wangko Ngantung mengatakan PMK tersebut secara umum mengatur tentang advance pricing agreement (APA). Meski demikian, PMK tersebut nyatanya turut memperluas cakupan ketentuan transfer pricing.

"PMK 22/2020 memperkenalkan konsep baru, yaitu transaksi independen yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa," katanya dalam diskusi panel bertajuk Tax Disputes in Indonesia dalam gelaran ITR Asia Tax Forum, Kamis (25/8/2022).

Dengan lahirnya PMK itu, lanjut Yusuf, transaksi independen berpotensi tunduk dengan ketentuan transfer pricing. Contoh, 2 perusahaan multinasional, yaitu US Co dan Japan Co memiliki perjanjian yang memungkinkan anak perusahaannya untuk berkontrak antara satu dengan yang lain.

Meski kedua perusahaan tidak memiliki hubungan istimewa antara satu dengan yang lain, transaksi antara anak usaha US Co dan Japan Co di Indonesia bisa dianggap sebagai transaksi independen yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sesuai dengan PMK 22/2020.

Selanjutnya, PMK 22/2020 juga memuat aturan mengenai secondary adjustment. Sebagai informasi, secondary adjustment adalah koreksi lanjutan yang bisa terjadi akibat adanya primary adjustment atas transaksi afiliasi.

Berdasarkan Pasal 22 ayat (8) PMK 22/2020, telah diatur bahwa selisih antara nilai transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa yang tidak sesuai dengan arm's length principle (ALP) dan yang sesuai dengan ALP dianggap sebagai dividen yang dikenai PPh.

Dengan adanya secondary adjustment, koreksi yang dilakukan oleh otoritas pajak tidak hanya berdampak terhadap kewajiban pembayaran PPh badan, tetapi juga terhadap kewajiban withholding tax.

Contoh, otoritas pajak melalui primary adjustment mengoreksi nilai transaksi penjualan dari senilai 100 menjadi 120. Kemudian, selisih antara 100 dan 120 tersebut merupakan deemed dividend yang dikenai pajak penghasilan.

Pada praktiknya, lanjut Yusuf, secondary adjustment berlaku atas seluruh transaksi afiliasi, terlepas dari ada atau tidaknya hubungan kepemilikan atau penguasaan. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
Facebook DDTC
Twitter DDTC
Line DDTC
WhatsApp DDTC
LinkedIn DDTC
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.