Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Dua pekan pascarampungnya Program Pengungkapan Sukarela (PPS), fokus wajib pajak mulai bergeser. Kini pertanyaan yang muncul untuk perlu dijawab adalah 'Apa selanjutnya?'
Sesuai dengan pernyataan otoritas selama PPS berlangsung, Ditjen Pajak (DJP) akan kembali fokus melakukan penegakan hukum selepas kesempatan pengungkapan harta berakhir. Pengawasan dan pemeriksaan kembali diintensifkan.
Bicara soal pengawasan dan pemeriksaan, DJP menjalankan pembaruan sistem inti administrasi perpajakan atau coretax administration system. Perbaruan ini diyakini akan mengubah model pengawasan otoritas. Isu kembali hangat diperbincangkan dalam sepekan terakhir.
Staf Ahli Menkeu Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti mengatakan pembaruan coretax system akan memperkuat basis data dan informasi perpajakan. Melalui sistem ini, DJP akan dapat memprioritaskan pemeriksaan terhadap wajib pajak dengan profil risiko tinggi.
"Nanti by sistem mereka yang berisiko tinggi yang duluan kita lakukan pengawasan dan pemeriksaan," katanya dalam siniar D'maestro.
Nufransa mengatakan pembaruan coretax system akan membuat cara kerja DJP semakin akuntabel karena semuanya didasarkan pada sistem. Apalagi dengan analisis melalui compliance risk management (CRM), DJP akan dengan mudah menentukan wajib pajak yang perlu segera diperiksa.
Pembahasan lengkap mengenai prioritas pemeriksaan, baca Ada Coretax System, WP Berisiko Tinggi akan Jadi Prioritas Pemeriksaan.
Masih menyambung soal pengawasan dan pemeriksaan, DJP sudah memiliki akses superluas terhadap data dan informasi keuangan milik wajib pajak. Data dan informasi keuangan yang dipertukarkan oleh otoritas pajak antaryurisdiksi melalui skema automatic exchange of information (AEOI) terus bertambah.
Berdasarkan catatan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pada 2021 tercatat otoritas pajak telah mempertukarkan data dan informasi atas 111 juta rekening keuangan.
"Implementasi global dari AEOI kian matang," tulis Sekjen OECD Mathias Cormann dalam laporannya kepada G-20.
Adapun nilai aset dalam 111 juta rekening tersebut mencapai EUR11 triliun atau Rp165.261 triliun.
Pembahasan lengkapnya, baca Wah! Ada 111 Juta Rekening yang Dipertukarkan Lewat AEOI pada 2021.
Selain isu soal pemeriksaan dan pertukaran data di atas, masih ada sejumlah pemberitaan menarik lainnya. Berikut adalah artikel terpopuler DDTCNews yang sayang untuk dilewatkan:
1. Pertama di Indonesia! KPP Sita Saham Milik WP Gara-Gara Tunggak Pajak
KPP Pratama Balikpapan Timur, Kalimantan Timur menyita aset berupa kepemilikan saham atas nama penanggung pajak. Kegiatan penyitaan saham yang dilakukan di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 23 Juni 2022 ini menjadi yang pertama kali terjadi di Indonesia.
KPP Pratama Balikpapan Timur menggandeng KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu untuk menyita total 400.000 lot saham dan 2 kupon Obligasi Negara Ritel (ORI) atas 7 Single Investor Identification (SID) milik 7 perusahaan dengan 6 penanggung pajak. Total nilai saham yang disita diperkirakan mencapai Rp251 miliar.
"Total tunggakan dari ketujuh perusahaan mencapai Rp15 Miliar. Sebelumnya sudah kami sampaikan surat teguran, surat paksa, dan tindakan penagihan aktif lainnya. Namun dari pihak wajib pajak tidak kooperatif dan tidak ada iktikad baik untuk melunasi tunggakan tersebut sehingga kami lanjutkan ke tahap penyitaan," tulis KPP Pratama Balikpapan Timur dalam keterangannya dilansir pajak.go.id.
2. Belum Lapor SPT Tahunan 2021, Harta PPS Perlu Dimasukkan atau Tidak?
Wajib pajak tidak perlu melaporkan harta yang diungkap melalui PPS dalam SPT Tahunan PPh 2021.
Penegasan dari DJP tersebut untuk untuk menjawab situasi jika ada wajib pajak yang belum menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pajak penghasilan (PPh) 2021 tetapi sudah mengikuti PPS.
“Untuk daftar harta SPT Tahunan 2021 berupa data harta tahun 2021 dan tahun-tahun sebelumnya yang harta tersebut tidak diikutkan dalam PPS yang masih dimiliki/dikuasai pada akhir tahun pajak 2021,” jelas contact center DJP, Kring Pajak, merespons pertanyaan warganet melalui Twitter.
3. DJP Atur Penerbitan NPWP dan Perlakuan PPh atas Perseroan Perorangan
DJP menerbitkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-20/PJ/2022 yang mengatur tentang pemberian NPWP hingga pengenaan PPh bagi perseroan perorangan.
Pasalnya, saat ini belum terdapat penegasan mengenai dokumen yang perlu dilampirkan agar perseroan perorangan bisa memperoleh NPWP.
Perlu diketahui, perseroan perorangan merupakan perseroan yang didirikan oleh 1 orang. Perseroan perorangan hanya dapat didirikan oleh pelaku usaha yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil sesuai dengan UU Cipta Kerja.
Dalam SE-20/PJ/2022, wajib pajak perseroan perorangan dipandang sebagai subjek pajak badan.
Untuk mendapatkan NPWP, permohonan harus dilampiri sertifikat pendaftaran secara elektronik yang diterbitkan oleh Kemenkumham dan fotokopi NPWP pengurus badan.
4. Perseroan Perorangan Tak Bisa Manfaatkan Omzet Rp500 Juta Bebas Pajak
DJP menetapkan perseroan perorangan tidak dapat memanfaatkan fasilitas omzet tidak kena pajak hingga Rp500 juta.
Merujuk pada SE-20/PJ/2022, ketentuan omzet tidak kena pajak hingga Rp500 juta hanya berlaku atas wajib pajak orang pribadi, sedangkan perseroan perorangan merupakan wajib pajak badan.
"Perseroan perorangan tidak termasuk wajib pajak yang berhak untuk tidak dikenai PPh atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta dalam 1 tahun pajak," bunyi SE-20/PJ/2022.
Meski perseroan perorangan tidak dapat memanfaatkan fasilitas omzet tidak kena pajak UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), wajib pajak dapat menggunakan skema PPh final dengan tarif 0,5% sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) 23/2018.
5. Luncurkan Aplikasi e-PHTB untuk Notaris, DJP Terbitkan Perdirjen Baru
DJP merilis Peraturan Dirjen Pajak No. PER-08/PJ/2022 yang mengatur tata cara penelitian bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh atas pengalihan hak atas tanah/bangunan (PHTB) dan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) atas tanah/bangunan.
Melalui Peraturan Dirjen Pajak No. PER-08/PJ/2022, DJP memberikan kemudahan, kepastian hukum, meningkatkan pelayanan wajib pajak, serta meningkatkan kemitraan dan kerja sama dengan notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
"Perlu dilakukan pengembangan sistem administrasi perpajakan terintegrasi untuk mengakomodasi permohonan penelitian formal bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh atas penghasilan dari PHTB dan PPJB atas tanah/bangunan beserta perubahannya melalui notaris dan/atau PPAT," bunyi bagian pertimbangan PER-08/PJ/2022. (sap)