Researcher of DDTC Fiscal Research & Advisory (FRA) Lenida Ayumi dalam Webinar Series DDTC: Outlook Pajak Daerah Pasca UU HKPD.
JAKARTA, DDTCNews – Reformasi sistem pajak daerah perlu dibarengi dengan evaluasi kinerja pajak daerah yang sudah berjalan selama ini. Tujuannya, menciptakan kebijakan publik yang tepat dan efisien.
Researcher of DDTC Fiscal Research & Advisory (FRA) Lenida Ayumi mengungkapkan kinerja pajak daerah bisa diukur, salah satunya, melalui indikator tax effort. Adapun tax effort merupakan rasio antara penerimaan pajak yang diperoleh terhadap potensi penerimaan pajak (taxable capacity).
“Kami menyambut baik berbagai agenda reformasi struktural dari pemerintah salah satunya melalui UU HKPD. Kami memaknai terbitnya UU HKPD tersebut sebagai momentum untuk melaksanakan evaluasi pajak daerah secara komprehensif melalui analisis tax effort,” jelas Ayumi dalam Webinar Series DDTC: Outlook Pajak Daerah Pasca UU HKPD, Rabu (30/3/2022).
Ayumi lantas menjelaskan alasan di balik dipilihnya tax effort sebagai indikator kinerja pajak daerah. Menurutnya, tax effort mampu mengevaluasi sejauh mana upaya yang dilakukan tiap daerah dalam memungut potensi pajak. Selain itu, tax effort juga dapat mengidentifikasi variasi persoalan serta respons kebijakan yang tepat berdasarkan kondisi aktual di sebuah daerah.
Guna melakukan analisis tax effort, DDTC FRA mengambil studi kasus terhadap 113 kabupaten/kota di Pulau Jawa selama periode 2014-2019. Hasil estimasi dan analisis itu di antaranya menunjukan sebagian besar daerah belum mengumpulkan potensi pajak secara optimal.
Hasil studi itu juga menunjukkan kinerja pajak cenderung lebih tinggi di wilayah sentra pertumbuhan & memiliki basis pajak yang besar. Selain itu, terdapat pola kontras dan ketimpangan antara kinerja penerimaan pajak daerah kota dengan kabupaten.
“Ketimpangan kinerja tersebut membuka ruang diskusi lanjutan tentang apakah keseragaman jenis pajak daerah yang didelegasikan kepada pemerintah kabupaten dan kota sudah tepat? Serta apakah mungkin opsen dapat menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan tersebut,” ujar Ayumi.
Dalam kesempatan tersebut, Ayumi juga menjabarkan 6 peluang yang dapat ditangkap oleh pemerintah daerah dengan hadirnya UU HKPD. Pertama, redesign kebijakan pajak daerah yang lebih berdasarkan kebutuhan nyata, potensi, dan akar permasalahan di daerah melalui tools evaluasi kebijakan serta mengedepankan prinsip ‘desentralisasi asimetris’.
Kedua, terobosan administratif & reformasi proses bisnis. Hal ini dilakukan dengan mengutamakan jenis pajak yang memiliki kontribusi terbesar, transformasi teknologi dalam pelayanan pajak, serta menjalin kerja sama dengan sektor publik dan privat (bank, fintech, dan sebagainya).
Ketiga, penetapan target penerimaan pajak yang lebih ideal. Keempat, menyeimbangkan struktur penerimaan pajak (tax mix). Kelima, sinergi antarpemerintah untuk mengatasi ketimpangan fiskal. Keenam, deregulasi dan law enforcement.
Lebih lanjut, hasil analisis DDTC FRA atas kinerja pajak daerah dapat disimak dalam DDTC Working Paper bertajuk Mempertimbangkan Reformasi Pajak Daerah berdasarkan Analisis Subnational Tax effort. Anda juga dapat menyimak analisis implikasi UU HKPD terhadap pajak daerah dalam buku baru DDTC berjudul Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. (sap)