Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Keberadaan program pengungkapan sukarela (PPS) bisa meminimalisasi potensi timbulnya sengketa antara wajib pajak dan petugas pajak atas harta pada Surat Pemberitahuan (SPT).
Direktur Intelijen Perpajakan DJP yang juga Wakil Ketua Kompartemen Akuntan Pajak (KAPj) IAI Pontas Pane mengatakan perbedaan pandangan antara wajib pajak dan fiskus atas aset dapat diminimalisasi melalui PPS.
"Dengan adanya PPS ini tentunya meminimalisasi perbedaan pendapat antara fiskus dan wajib pajak ke depan," ujar Pontas, dikutip Jumat (18/2/2022).
Sebagaimana diatur pada Pasal 21 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 196/2021, harta dan utang yang diungkap pada SPPH baik kebijakan I maupun kebijakan II PPS diperlakukan sebagai perolehan harta dan utang baru.
Perolehan harta dan utang baru tersebut harus dilaporkan oleh wajib pajak pada SPT Tahunan 2022 dengan tanggal perolehan sesuai dengan tanggal surat keterangan PPS.
Agar manfaat PPS dapat dirasakan secara optimal oleh wajib pajak, maka wajib pajak perlu memerinci secara detail harta yang dideklarasikan pada surat pemberitahuan pengungkapan harta (SPPH).
Makin terperinci daftar harta yang dicantumkan wajib pajak pada SPPH, potensi wajib pajak mendapatkan surat klarifikasi dari DJP makin minim.
Bila penelitian yang dilakukan DJP menunjukkan adanya kekurangan pembayaran PPh final PPS, wajib pajak berpotensi mendapatkan surat klarifikasi dari DJP. Hal ini telah diatur pada Pasal 13 PMK 196/2021.
Kemudian, apabila berdasarkan surat klarifikasi terdapat kekurangan pembayaran, wajib pajak diberi kesempatan untuk melunasi PPh final yang kurang dibayar atau menanggapi surat klarifikasi paling lama 14 hari kerja sejak surat klarifikasi terbit.
Bila wajib pajak tidak melunasi PPh final yang kurang dibayar, tidak menanggapi surat klarifikasi, atau memberikan klarifikasi yang tak sesuai keadaan sebenarnya maka DJP akan menerbitkan pembetulan atau pembatalan surat keterangan PPS. (sap)