Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah memastikan pemberlakuan PPh final sebesar 0,5% untuk pelaku UMKM tetap diperpanjang hingga 2025 ini. Perpanjangan dilakukan meski kebijakan ini tidak tercakup dalam paket stimulus yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto pada awal pekan ini. Topik tentangnya menjadi salah satu ulasan media massa pada hari ini, Kamis (20/2/2025).
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan perpanjangan periode PPh final dengan tarif 0,5% selama setahun bagi UMKM orang pribadi ini telah disetujui di internal pemerintah. Namun, kebijakan ini memang tidak termasuk dalam paket stimulus yang dibacakan Presiden Prabowo Subianto, Senin lalu. Hingga kini, aturan teknis tentangnya juga belum diterbitkan.
"Itu sudah disetujui. Ya, [kebijakan tetap berlanjut]," kata Airlangga.
Pasal 59 PP 55/2022 mengatur jangka waktu PPh final UMKM paling lama 7 tahun pajak untuk orang pribadi; 4 tahun pajak untuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, BUMDes/BUMDesma, atau perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 orang; serta 3 tahun pajak untuk perseroan terbatas.
Jangka waktu tertentu pengenaan PPh final ini tetap meneruskan jangka waktu berdasarkan PP 23/2018 atau tidak diulang dari awal. Apabila orang pribadi terdaftar setelah berlakunya PP 23/2018 pada 2018, artinya PPh final dimanfaatkan maksimal hingga tahun pajak 2024.
Namun, pemerintah pada Desember 2024 mengatakan bakal memperpanjang jangka waktu pemanfaatan rezim PPh final 0,5% untuk UMKM orang pribadi melalui revisi PP. Perpanjangan ini hanya berlaku bagi orang pribadi UMKM yang sudah memanfaatkan PPh final 0,5% selama 7 tahun.
Selain informasi mengenai perpanjangan PPh final UMKM 0,5%, ada pula bahasan lain yang diulas oleh media massa pada hari ini. Di antaranya, ketentuan mengenai administrasi pemeriksaan yang dilakukan sebelum PMK baru terbit, produktivitas penyelesaian perkara dan banding di lingkungan peradilan pajak, pentingnya Indonesia menerapkan pajak minimum global, hingga penerimaan pajak yang diprediksi lesu.
Pada Senin lalu, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan sederet kebijakannya untuk mencapai target pertumbuhan pada tahun ini, terutama kuartal I/2025. Dalam kelompok paket stimulus ekonomi, pemerintah akan memberikan 5 jenis insentif.
Kelima insentif ini meliputi diskon tarif listrik, PPN DTP atas pembelian properti dan otomotif, PPnBM DTP kendaraan listrik dan hybrid, pajak DTP atas motor listrik, serta PPh Pasal 21 DTP untuk pegawai sektor padat karya.
Nah, pemberian PPh final UMKM 0,5% tidak termasuk di dalamnya. Namun, hal ini sudah diklarifikasi oleh pemerintah. (DDTCNews)
Pemerintah mestinya tidak perlu terburu-buru merespons keputusan Amerika Serikat (AS) yang mundur dari kesepakatan pajak minimum global 15%. Pemerintah justru dianggap perlu melanjutkan kebijakan tersebut.
Director of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji menilai, alih-alih merespons keputusan Presiden Trump, pemerintah perlu mencermati terlebih dulu langkah AS terhadap negara-negara Uni Eropa yang lebih dulu menerapkan pajak minimum global.
Menurut Bawono, jika Indonesia memutuskan menunda penerapan pajak minimum global maka akan membuang momentum untuk mengatasi praktik pengalihan laba dan upaya mencegah kompetisi pajak yang tidak sehat. (Kontan)
Ditjen Pajak (DJP) menegaskan pemeriksaan yang dilakukan sebelum Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 15/2025 diundangkan dan belum selesai maka masih tetap menggunakan ketentuan lama, yaitu PMK 17/2013 s.t.d.t.d PMK 18/2021.
Penjelasan dari contact center Ditjen Pajak itu merespons pertanyaan dari warganet yang menyoroti masa tenggat waktu penyampaian tanggapan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP) yang kini menjadi paling lama 5 hari dari sebelumnya 7 hari.
“Sesuai Pasal 30 PMK 15/2025, pemeriksaan yang dilakukan sebelum PMK 15/2025 diundangkan dan belum selesai, masih tetap menggunakan ketentuan lama, yaitu PMK 17/2013 s.t.d.t.d PMK 18/2021,” jelas Kring Pajak. (DDTCNews)
Mahkamah Agung (MA) mencatat pengadilan tingkat banding di 4 lingkungan peradilan dan Pengadilan Pajak mampu meningkatkan rasio produktivitas penyelesaian perkara sepanjang 2024.
Rasio produktivitas penyelesaian perkara pada pengadilan tingkat banding dan Pengadilan Pajak pada 2024 mampu mencapai 80,56%, naik 5,08% bila dibandingkan dengan rasio produktivitas pada 2023.
"Beban perkara pada 2024 58.205, terdiri dari perkara masuk sebanyak 44.859, ditambah sisa perkara 2023 sebanyak 13.346. Dari jumlah tersebut, jumlah perkara yang telah diputus sebanyak 46.860," ujar Ketua MA Sunarto. (DDTCNews)
DJP menyatakan pengkreditan pajak masukan pada masa pajak yang tidak sama kini sudah bisa dilakukan di aplikasi coretax system.
Artinya, pengusaha kena pajak (PKP) bisa mengkreditkan pajak masukan pada masa yang tidak sama maksimal 3 bulan setelah berakhirnya masa pajak saat faktur dibuat. Misal, pajak masukan pada faktur pajak Oktober 2024 dapat dikreditkan maksimal pada Januari 2025.
“#KawanPajak, pajak masukan masa pajak Oktober, November, dan Desember 2024 bisa dikreditkan pada masa pajak yang tidak sama di masa pajak Januari 2025 melalui Coretax DJP,” tulis DJP melalui media sosial X. (DDTCNews)
Kinerja penerimaan pajak pada awal 2025 diperkirakan turun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan ada beberapa hal yang menjadi ganjalan bagi kinerja pajak pemerintah.
Perkara yang muncul pada awal tahun, seperti kendala teknis pada coretax system, membuat wajib pajak kesulitan untuk menyetor pajaknya. Kemudian, kenaikan tarif PPN secara umum dan pemberlakuan tarif efektif rata-rata (TER) juga menjadi faktor yang membuat penerimaan pajak awal tahun lebih seret.
Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional Dradjad Wibowo memperkirakan penurunan penerimaan pajak akan terjadi cukup besar, khususnya penerimaan neto. Perbaikan coretax system, menurutnya, tetap perlu dilakukan. (Harian Kompas)