Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji dalam Power Lunch yang disiarkan CNBC Indonesia, Jumat (4/6/2021).
JAKARTA, DDTCNews – Pakar memandang terobosan dalam kebijakan pajak diperlukan untuk mendukung konsolidasi fiskal pascapandemi Covid-19.
Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan reformasi atas kebijakan PPN merupakan salah satu kebijakan yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah dalam meningkatkan penerimaan negara.
Secara teoritis, lanjutnya, pajak yang berbasis konsumsi seperti PPN tidak menimbulkan distorsi yang besar terhadap perekonomian. Selain itu, kinerja penerimaan PPN juga relatif lebih cepat pulih sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional.
"Kalau kita melihat secara teoritis hubungan antara economic growth dengan jenis pajak, yang paling tidak mendistorsi adalah pajak yang berbasis kekayaan, kedua adalah pajak berbasis konsumsi," katanya dalam Power Lunch yang disiarkan CNBC Indonesia, Jumat (4/6/2021).
Untuk itu, Bawono menilai keputusan pemerintah yang memilih berfokus pada pajak konsumsi adalah langkah yang rasional. Di lain pihak, tarif PPN yang berlaku di Indonesia sebesar 10%, masih di bawah rata-rata global sebesar 15,4%. Simak 'Ternyata, Tarif PPN/GST Secara Global Naik 10 Tahun Terakhir Ini'.
"Jadi diskusi mengenai tarif, multitarif, single-tariff, dan pengurangan pembebasan atau pengecualian PPN itu menurut saya tepat. Ini sesuatu yang rasional dan baik," tuturnya.
Berdasarkan data yang dipaparkan Kementerian Keuangan di hadapan Banggar DPR, pemerintah mengusulkan penerapan PPN multitarif untuk memperbaiki sistem PPN. Pemerintah ingin mengurangi pengecualian dan pembebasan PPN yang ditengarai mendistorsi sistem PPN.
Selain itu, pemerintah akan mengenakan tarif PPN yang lebih rendah untuk barang tertentu dan PPN dengan tarif lebih tinggi untuk barang-barang mewah. Penerapan PPN bersifat final juga menjadi pertimbangan, terutama untuk penyerahan barang-barang tertentu. (rig)