Barang bukti rokok ilegal hasil sitaan sebelum dimusnahkan di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (18/11/2020). Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) berupaya menekan peredaran rokok ilegal hingga kembali di bawah 3%, setelah melonjak hingga 4,9% pada 2020. (ANTARA FOTO/Umarul Faruq/hp)
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) berupaya menekan peredaran rokok ilegal hingga kembali di bawah 3%, setelah melonjak hingga 4,9% pada 2020.
Kepala Seksi Hubungan Masyarakat DJBC Sudiro mengatakan institusinya telah menjalankan sejumlah strategi untuk menekan peredaran rokok ilegal. Pertama, meningkatkan pengetahuan masyarakat masyarakat mengenai ketentuan cukai.
"Seiring dengan meningkatkan pemahaman terkait cukai, maka keinginan untuk melakukan pelanggaran dapat dihindari karena paham akan konsekuensi hukumnya," katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (12/5/2021).
Sudiro mengatakan semua kantor wilayah Bea Cukai terus bekerja mengampanyekan bahaya rokok ilegal kepada masyarakat. Sosialisasi itu dilakukan melalui media massa, media sosial, hingga mengadakan dialog interaktif.
Dia menilai masyarakat dapat berperan dalam membantu pemerintah memerangi rokok ilegal jika memperoleh informasi yang tepat. Selain itu, pemahaman yang baik juga akan mencegah masyarakat mengonsumsi rokok ilegal.
Strategi kedua, menggencarkan operasi gempur rokok ilegal. Sudiro menyebut operasi pemberantasan rokok ilegal terus dilakukan para petugas Bea Cukai, termasuk pada bulan Ramadan.
Hingga saat ini, kantor Bea Cukai di seluruh Indonesia telah menyita jutaan rokok ilegal yang berpotensi merugikan negara miliaran rupiah. Kebanyakan rokok ilegal itu dilakukan dengan modus melekati rokok dengan pita cukai palsu.
Adapun pada 2020, rokok ilegal yang disita mencapai 448,18 juta batang atau senilai Rp270,79 miliar. Angka itu naik dibandingkan dengan posisi 2019 yang sebanyak 408,63 juta batang.
Terakhir, DJBC berupaya mewadahi produsen rokok agar dapat memproduksi secara legal, seperti melalui pembentukan kawasan industri hasil tembakau (KIHT) terpadu.
Sudiro menyebut KIHT diciptakan untuk menghindari para pelaku usaha kecil melakukan kegiatan ilegal karena belum memiliki persyaratan sebagai pengusaha cukai berskala besar.
"Berbagai upaya menekan peredaran rokok ilegal dan meningkatkan kepatuhan pelaku usaha bidang cukai diharapkan meningkatkan penerimaan cukai yang nanti didistribusikan kembali ke warga melalui program Jaminan Kesehatan Nasional, DBHCHT, maupun program lainnya," ujarnya. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.