KEBIJAKAN PAJAK

Masukan Akademisi Hukum Soal Revisi UU KUP

Muhamad Wildan
Selasa, 06 April 2021 | 16.51 WIB
Masukan Akademisi Hukum Soal Revisi UU KUP

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Dahliana Hasan memaparkan materi dalam focus group discussion (FGD) bertajuk Urgensi Pembentukan RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Selasa (6/4/2021).

JAKARTA, DDTCNews – Akademisi mencatat terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang belum direvisi melalui UU Cipta Kerja.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Dahliana Hasan mengatakan pasal-pasal pada UU KUP belum ditindaklanjuti melalui UU Cipta Kerja antara lain Pasal 17B ayat (1) mengenai restitusi dan Pasal 21 mengenai hak mendahului atas utang pajak.

Kemudian, ada Pasal 32 ayat (3a) mengenai hak dan kewajiban kuasa, frasa 'setiap orang' Pasal 38, 39, serta 39A, dan Pasal 44 ayat (2) mengenai penyidik PPNS pada lingkungan DJP. Menurut Dahliana, terdapat bunyi ayat pada Pasal 17 ayat (1) UU KUP yang multitafsir.

“Pasal 17 ayat (1) disebutkan restitusi DJP menerbitkan SKP ‘paling lama’ 12 bulan sejak surat permohonan itu diterima, kalau tafsirannya gramatikal bisa dikatakan 'selama'. Itu multitafsir dalam implementasinya," ujar Dahliana dalam focus group discussion (FGD) bertajuk Urgensi Pembentukan RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Selasa (6/4/2021).

Menurut Dahliana, ‘paling lama’ dapat ditafsirkan kurang atau maksimal 12 bulan. Oleh karena itu, revisi atas UU KUP perlu memberikan kepastian kepada wajib pajak dengan turut mempertimbangkan pula implementasinya di lapangan.

Mengenai Pasal 21 UU KUP, hak mendahului negara atas utang pajak dikecualikan atas biaya perkara yang hanya disebabkan oleh penghukuman untuk melelang barang, biaya yang dikeluarkan untuk menyelamatkan barang, serta biaya perkara yang disebabkan pelelangan dan penyelesaian warisan.

Menurut Dahliana, pasal tersebut perlu diselaraskan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 67/PUU-XI/2013 yang menyatakan upah pekerja yang terutang didahulukan atas semua jenis kreditur, termasuk tagihan utang pajak.

"Memang putusan menyatakan pembayaran pekerja harus didahulukan karena itu hak dari buruh itu sendiri, tetapi masyarakat belum mengetahui Putusan MK 67/PUU-XI/2013,” imbuhnya.

Dahliana juga mengatakan perlunya merevisi Pasal 32 ayat (3a) terkait dengan ketentuan yang melimpahkan pengaturan pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa kepada menteri keuangan melalui peraturan menteri keuangan (PMK). Menurut Dahliana, pengaturan pada PMK seharusnya lebih bersifat teknis dan administratif, bukan membatasi kuasa.

Atas frasa 'setiap orang' karena kealpaannya atau 'setiap orang' dengan sengaja pada Pasal 38, 39, dan 39A UU KUP, Dahliana mengatakan frasa 'setiap orang' secara gramatikal hanya mencakup orang pribadi dan tidak mencakup korporasi.

Dia mengatakan pada penjelasan Pasal 38 UU KUP telah memberikan pemaknaan yang luas yang mencakup wajib pajak orang pribadi sekaligus badan. Namun, hal tersebut masuk belum mengakomodasi pertanggungjawaban pidana atas korporasi selaku pelaku tindak pidana pajak.

Kemudian, Pasal 44 ayat (2) UU KUP mengenai kewenangan PPNS di lingkungan DJP untuk mengumpulkan keterangan dan laporan perlu diperluas sesuai dengan perkembangan teknologi informasi saat ini.

Makna dari keterangan, laporan, bahan bukti, dan dokumen perlu diperluas dengan mencakup bukti-bukti digital atau elektronik. Bukti digital memerlukan penanganan yang berbeda sehingga hal ini perlu diakomodasi pada revisi UU KUP. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Daffa Abyan
baru saja
Perubahan-perubahan perlu untuk dilakukan karena menyangkut kepastian hukum sehingga WP dan Otoritas Pajak memahami batasan-batasan yang sehingga mengurangi dispute yang terjadi