Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto. (foto: hasil tangkapan layar dari medsos)
JAKARTA, DDTCNews – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan pada September 2020 mengalami surplus US$2,44 miliar, sekaligus menjadi surplus kelima kalinya dalam 5 bulan terakhir ini.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan surplus tersebut sedikit lebih besar dibandingkan dengan posisi Agustus 2020 sebesar US$2,35 miliar. Meski begitu, realisasi itu lebih baik dibandingkan dengan September 2019 yang mengalami defisit US$108,3 juta.
"Ini 5 bulan berturut-turut sejak Mei, Indonesia mengalami surplus," katanya melalui konferensi video, Kamis (15/10/2020).
Suhariyanto menyebutkan nilai ekspor September 2020 tercatat US$14,01 miliar, naik 7% dari Agustus 2020. Sementara itu, nilai impor tercatat US$11,57 miliar, naik 24% dari bulan sebelumnya.
Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia hingga September 2020 mencapai US$117,19 miliar, turun 5,81% dari periode yang sama tahun lalu. Demikian pula ekspor nonmigas yang turun 4% menjadi US$111,25 miliar.
Peningkatan terbesar ekspor nonmigas pada September 2020 terjadi pada besi dan baja, yaitu sebesar US$266 juta atau naik 33% dari Agustus 2020, sedangkan penurunan terbesar terjadi pada logam mulia dan perhiasan/permata yaitu turun 13% menjadi US$113,2 juta.
Dari sisi impor nonmigas, BPS mencatatkan adanya kenaikan 6% menjadi US$10,40 miliar. Sementara itu, impor migas tercatat sebesar US$1,17 miliar, naik 23,50% dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Peningkatan impor nonmigas terbesar terjadi pada golongan mesin dan peralatan mekanis yang tercatat US$104,2 juta atau naik 6%, sedangkan penurunan terbesar adalah golongan bijih, terak, dan abu logam, yaitu turun 33% menjadi US$24,0 juta.
Menurut Suhariyanto, tren surplus neraca perdagangan akhir tahun ini memang tidak biasa. Biasanya, nilai impor akhir tahun akan meningkat untuk memenuhi kebutuhan peningkatan konsumsi pada libur Natal dan tahun baru.
Dia pun sulit memprediksi apakah neraca perdagangan bulan-bulan mendatang akan berbalik defisit, seperti tahun-tahun sebelumnya.
"Saya tidak bisa memastikan karena serba tidak pasti. Masalah penanganan kesehatan dan vaksin nanti akan bisa berpengaruh besar. Kalau dilihat memang sekarang ini irama untuk konsumsi pada level menengah atas agak ditahan," ujarnya. (rig)