Managing Partner DDTC Darussalam saat memberikan paparan dalam RDPU dengan Badan Anggaran DPR, Senin (10/2/2020).
JAKARTA, DDTCNews – Kendati akan cukup menantang, ruang untuk mengejar target penerimaan pajak pada tahun ini masih terbuka.
Hal ini disampaikan Managing Partner DDTC Darussalam dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Badan Anggaran DPR. Meskipun cukup berat, target pajak 2020 masih tetap memungkinkan untuk dijangkau dengan syarat didukung oleh semua pemangku kepentingan pajak.
Para pemangku kepentingan pajak ini, sambungnya, seperti instansi pemerintahan, wakil rakyat di DPR, dunia bisnis, dunia pendidikan, asosiasi konsultan pajak, para wajib pajak, dan beberapa pihak lain yang terkait.
“Dengan demikian, masih terbuka ruang untuk mengejar target penerimaan pajak di 2020. Kuncinya hanya satu, yaitu menempatkan pajak sebagai agenda utama menuju Indonesia maju,” katanya, Senin (10/2/2020).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak pada 2019 senilai Rp1.332,1 triliun atau 84,4% dari target Rp1.577,56 triliun. Dengan demikian, penerimaan itu hanya tumbuh 1,4% dibandingkan tahun sebelumnya.
Dalam APBN 2020, target penerimaan pajak dipatok senilai Rp1.642,6 triliun. Itu artinya, pertumbuhan penerimaan pajak tahun ini mencapai 23,3%. Target itu melompat jauh, terutama bila dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan 2019.
DDTC Fiscal Research sendiri, mempertimbangkan kendala, potensi, strategi, dan kondisi ekonomi, memproyeksi realisasi penerimaan pajak pada 2020 hanya akan berkisar antara Rp1.431 triliun – Rp1.462 triliun atau 87,1%—89,0% dari target. Dengan demikian pertumbuhan hanya sekitar 8,4% – 10,9% dari realisasi 2019.
Dalam konteks pengamanan target penerimaan pajak 2020, Darussalam merekomendasikan agar ada strategi baru yang disebut dengan ‘Relaksasi-Partisipasi’. Hal ini sejalan dengan keinginan Presiden Jokowi untuk mendorong daya saing dan memobilisasi penerimaan dalam waktu yang sama.
Strategi ‘Relaksasi-Partisipasi’ terdiri atas pertama, relaksasi dipertukarkan dengan ‘memaksa’ wajib pajak berpartisipasi dengan menggerakan perekonomian. Kedua, relaksasi dipertukarkan dengan ‘memaksa’ wajib pajak memberikan data dan informasi.
Ketiga, relaksasi dipertukarkan dengan ‘memaksa’ wajib pajak untuk patuh. Ketiga, relaksasi dipertukarkan dengan ‘memaksa’ wajib pajak berkontribusi dalam pembayaran pajak.
Strategi ‘Relaksasi-Partisipasi’ sebaiknya dilakukan dalam konteks pembaruan sistem pajak yang mencerminkan lima aspek. Pertama, paradigma kepatuhan kooperatif. Kedua, kebijakan pajak yang stabil dan partisipatif. Ketiga, transparansi. Keempat, simplifikasi sistem pajak. Kelima, dukungan teknologi informasi yang mumpuni.
Darussalam juga menekankan pentingnya strategi yang berkesinambungan terkait dengan perluasan basis pajak yang mencakup perluasan subjek pajak dan objek pajak serta peningkatan tax buoyancy dan mengurangi tax gap.
“Dalam konteks ini, strategi penambahan KPP Madya dan fokus kepada ekstensifikasi bagi KPP Pratama merupakan langkah yang patut diapresiasi,” imbuh Darussalam. (kaw)