Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) diminta untuk menghitung dan melaporkan nilai penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran dan pelaporan pajak akibat kendala implementasi coretax administration system. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (15/5/2025).
DJP memberikan penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran dan pelaporan pajak akibat kendala coretax system berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-67/PJ/2025. Menurut Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun, DJP perlu transparan mengenai nilai relaksasi yang diberikan kepada wajib pajak tersebut.
"Saya nanti Pak [Dirjen Pajak Suryo Utomo], minta tolong dibuatkan data seberapa besar sebenarnya penghapusan sanksi dan potensi yang hilang, kalau sudah selesai [kendala dalam penerapan coretax system]," katanya dalam rapat dengar pendapat bersama dirjen pajak.
Misbakhun menilai DJP sudah semestinya memberikan penghapusan sanksi administratif atas kendala yang dihadapi wajib pajak dalam mengakses coretax system. Secara bersamaan, berbagai kendala dalam penerapan coretax system juga perlu segera diselesaikan agar tidak menghambat pelayanan dan upaya pengumpulan penerimaan negara.
Coretax system mengalami berbagai kendala sejak awal penerapannya pada 1 Januari 2025. Kendala ini menyebabkan wajib pajak kesulitan melakukan hak dan kewajibannya seperti membayar dan melaporkan pajaknya.
Dalam situasi tersebut, DJP memberikan penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran dan pelaporan pajak akibat implementasi coretax system.
Selain topik tersebut, ada pula ulasan terkait dengan usulan menambah pemberian insentif pajak untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kemudian, ada pula pembahasan mengenai proyeksi penerimaan kepabeanan dan cukai serta lobi politik RUU Perampasan Aset.
DJP terus melakukan perbaikan coretax system dan melaporkan progresnya kepada publik. Perbaikan ini antara lain tecermin dari penurunan waktu tunggu atau latensi akses ke coretax system.
Pada 6 Mei 2025, latensi login dan akses coretax system sudah 0,001 detik dari sebelumnya 4,1 detik pada 10 Februari 2025. Lalu, latensi penerbitan faktur pajak sudah 0,3 detik dari sebelumnya 9,8 detik dan latensi penerbitan e-Bupot sudah 0,434 detik dari sebelumnya 16 detik.
"DJP terus berbenah demi sistem administrasi perpajakan yang andal dan modern," sebut DJP. (DDTCNews)
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai pemerintah perlu memberlakukan kembali insentif pajak yang sempat diberikan ketika pandemi Covid-19. Insentif pajak yang beragam diperlukan untuk menggerakkan roda perekonomian.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam mengatakan pemberian berbagai insentif pajak tersebut diharapkan membantu sektor usaha yang belum sepenuhnya pulih dari tekanan akibat pandemi Covid-19. Terlebih, saat ini banyak perusahaan mengalami penurunan kinerja sehingga melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Memang selesai Covid-19 pemerintah kasih insentif, which is ekonomi bergerak lebih baik lagi, tetapi kan cuma sampai 2022-2023. Jadi kurang lama insentifnya," ujarnya. (DDTCNews)
Kementerian Keuangan optimistis penerimaan kepabeanan dan cukai pada 2025 akan mampu mencapai target setelah mengalami shortfall atau selisih kurang antara realisasi dan target pada 2023 dan 2024.
Dirjen Bea dan Cukai Askolani mengatakan penerimaan kepabeanan dan cukai menunjukkan kinerja yang positif pada kuartal I/2025. Hingga Maret 2025, realisasi kepabeanan dan cukai sudah mencapai 25,7% dari target pada APBN 2025.
"Insyaallah dengan pencapaian penerimaan sampai dengan bulan Maret ini yang 25%, kami harapkan dan kami upayakan target di APBN itu bisa dicapai," katanya. (DDTCNews)
Presiden Prabowo Subianto telah berkomunikasi dengan semua ketua umum partai politik untuk membahas RUU Perampasan Aset.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan sebuah undang-undang merupakan produk politik yang prosesnya harus bergulir di parlemen terlebih dulu. Lobi politik dengan pimpinan parpol dibutuhkan agar proses pembahasan RUU Perampasan Aset mulus.
"Biarkan dulu proses ini bisa selesai supaya bisa smooth, sambil Kementerian Hukum bisa melakukan dialog dengan teman-teman di parlemen," katanya. (DDTCNews, Harian Kompas)
Pemerintah telah menerbitkan PMK 29/2024 yang mengatur memperpanjang pengenaan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) atau safeguard terhadap impor produk polistirena yang dapat dikembangkan (expansible polystyrene).
Perpanjangan BMTP material plastik ini dilakukan karena masih dijumpai lonjakan impor serta untuk memberikan waktu bagi industri dalam negeri menyelesaikan penyesuaian struktural.
BMTP atas produk expansible polystyrene diperpanjang selama 3 tahun. Pada tahun pertama, tarif BMTP ditetapkan senilai Rp2.352 per kilogram, sedangkan pada tahun kedua Rp2.328 per kilogram, dan tahun ketiga Rp2.304 per kilogram. (DDTCNews)