Ilustrasi. Petugas melakukan cek fisik kendaraan milik warga di Samsat Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Selasa (6/5/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/YU
TREN pemutihan pajak kembali ramai dalam beberapa bulan terakhir. Pemerintah daerah—baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota—berbondong-bondong menawarkan insentif pajak daerah berupa penghapusan sanksi, pengurangan pokok utang pajak, hingga pembebasan pajak.
Bagaimana respons masyarakat? Sangat antusias. Media sosial bahkan dipenuhi unggahan masyarakat dari penjuru daerah di Indonesia, yang membanding-bandingkan kebijakan pemutihan pajak antara 1 daerah dengan daerah lainnya.
Ada juga unggahan dari masyarakat yang mengapresiasi keputusan daerah yang memberikan insentif fiskal. Bahkan, muncul juga desakan agar daerah lain tidak ketinggalan. Menariknya, fenomena ini bahkan sampai berujung gugatan hukum.
Seorang warga asal Lamongan menggugat Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya lantaran tidak mengeluarkan kebijakan penghapusan tunggakan pajak kendaraan bermotor.
Dalam gugatan perdatanya, penggugat memandang penghapusan denda pajak kendaraan merupakan kebijakan yang sangat pro-rakyat. Penggugat juga menilai kondisi ekonomi saat ini sedang tidak baik-baik saja sehingga pemutihan pajak merupakan langkah yang tepat.
Tak bisa dimungkiri, pemutihan pajak merupakan salah satu kebijakan populis yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda). Ambil contoh pemutihan di tingkat pemerintah provinsi pada 2024. Tahun lalu, sebanyak 37 provinsi dari total 38 provinsi mengadakan pemutihan.
Pemutihan bahkan menjadi program andalan pemprov setiap tahun. Setidaknya 15 provinsi telah menggelar pemutihan pajak setiap tahunnya selama 2021-2025. Salah satunya, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Banten.
Di tingkat pemerintah kabupaten/kota, kepopuleran pemutihan pajak juga kurang lebih sama. Hampir setiap hari, pengumuman terkait dengan pemutihan pajak di tingkat kabupaten/kota diberitakan oleh media nasional dan lokal.
Pemutihan di tingkat provinsi biasanya menyasar pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). Di tingkat kabupaten/kota, pajak bumi dan bangunan perdesaan perkotaan (PPB-P2) paling sering diputihkan. Namun, tidak jarang pula, pemerintah kabupaten/kota menghapus denda untuk jenis pajak daerah lainnya.
Bukan tanpa alasan, pajak kendaraan atau PBB-P2 sering dilakukan pemutihan. Hal ini dikarenakan kontribusi kedua jenis pajak daerah ini paling besar dibandingkan dengan sumber pendapatan asli daerah (PAD) lainnya.
Menurut Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK), setoran pajak kendaraan dan BBNKB merupakan 2 jenis pajak provinsi yang menghasilkan penerimaan tertinggi pada pendapatan asli daerah (PAD). Hal ini juga berlaku pada PBB-P2 di tingkat kabupaten/kota.
Sebagai contoh, pajak kendaraan di Provinsi Jawa Timur menyumbang Rp7,78 triliun pada 2023, atau 42% dari total pendapatan pajak daerah senilai Rp18,38 triliun. Disusul, BBNKB sebesar 23%, pajak bahan bakar kendaraan 18%, pajak rokok 17%, dan lain-lain 1%.
Secara sederhana, pemutihan pajak adalah kebijakan fiskal yang membebaskan wajib pajak dari kewajiban membayar sanksi administrasi atau pokok pajak tertentu. Terdapat beberapa alasan yang umum digunakan pemda untuk mengadakan pemutihan pajak.
Alasan tersebut antara lain meningkatkan pendapatan asli daerah dalam waktu singkat, menurunkan angka tunggakan pajak yang mengendap bertahun-tahun, mengurangi beban ekonomi masyarakat, serta merangsang kembali kepatuhan pajak dari masyarakat.
Lantas, adakah koridor atau dasar pertimbangan digelarnya pemutihan pajak ini? Koridor pemberian keringanan pajak daerah turut diatur dalam UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, meski tidak secara eksplisit menyebutkan pemutihan.
Merujuk pada Pasal 96 ayat (1) UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), kepala daerah dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi pajak.
Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran tersebut dilakukan dengan memperhatikan kondisi wajib pajak dan/atau objek pajak. Ketentuan kondisi wajib pajak atau objek pajak selanjutnya diatur lebih lanjut dalam PP 35/2023.
Berdasarkan Pasal 102 PP 35/2023, kondisi wajib pajak yang dimaksud ialah paling sedikit berupa kemampuan membayar wajib pajak atau tingkat likuiditas wajib pajak. Artinya, keringanan hanya diberikan untuk wajib pajak tertentu saja, tidak dipukul rata.
Sementara itu, kondisi objek pajak paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati wajib pajak golongan tertentu, nilai objek pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
Ketentuan keringanan juga tercantum dalam pasal lainnya di UU HKPD, yaitu pasal 101. Berdasarkan pasal tersebut, gubernur/bupati/wali kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya. Namun, insentif ini hanya untuk mendukung kemudahan investasi.
Insentif fiskal dapat berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, dan/atau sanksinya. Selanjutnya, UU HKPD juga menetapkan beberapa dasar pertimbangan dalam pemberian insentif tersebut.
Pertama, kemampuan membayar wajib pajak dan wajib retribusi. Kedua, kondisi tertentu objek pajak, seperti objek pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh wajib pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran pajak.
Ketiga, untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro. Keempat, untuk mendukung kebijakan pemda dalam mencapai program prioritas daerah. Kelima, untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
Dalam banyak kasus, program pemutihan pajak memang berhasil mengerek pendapatan daerah secara signifikan selama periode pelaksanaan. Contoh saja, Pemprov Jawa Barat meraup rata-rata senilai Rp76,3 miliar per hari, naik 54% ketimbang rata-rata harian sebelum pemutihan senilai Rp49,7 miliar.
Namun, ketika insentif ini berubah menjadi kebiasaan tahunan tanpa evaluasi mendalam, tentu ini menjadi pertanyaan. Pemutihan pajak yang seharusnya menjadi kebijakan luar biasa, malah menjadi langkah rutin.
Tren pemutihan pajak yang berulang di daerah ini juga mendapatkan sorotan dari pemerintah pusat. Menurut Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Fatoni, pemutihan sesungguhnya hanya menunda penerimaan pajak. Namun, pemutihan ini justru dilakukan setiap tahun.
"Pemutihan selama ini dilakukan rutin setiap tahun, setiap ulang tahun daerah, setiap akhir tahun, atau setiap 17 Agustus. Kalau rutin, orang akan bilang tidak usah bayar sekarang, nanti tahun depan juga ada pemutihan," katanya.
Dengan demikian, pemutihan pajak seakan-akan memberikan insentif kepada masyarakat untuk menunda-nunda pembayaran pajak. Tujuan pemda yang awalnya untuk merangsang orang untuk patuh pajak setelah pemutihan tentu tidak terjadi.
Di samping itu, pemutihan pajak juga berisiko menimbulkan moral hazard lantaran tidak memberikan keadilan bagi wajib pajak yang selama ini patuh. Dalam jangka panjang, kepatuhan membayar pajak malah rentan tergerus.
Kondisi ini tentu mengkhawatirkan. Apalagi, kepatuhan pemilik kendaraan dalam membayar pajak kendaraan bermotor (PKB) saat ini masih tergolong rendah meski program pemutihan pajak dilakukan setiap tahun.
Berdasarkan data DJPK, dari total 157,08 juta unit kendaraan yang terdaftar pada 2023, hanya 51,36 juta kendaraan atau 33% yang tidak punya tunggakan pajak. Lalu, 50,47 juta kendaraan tidak patuh membayar pajak dan 55,25 juta kendaraan tidak aktif membayar pajak.
"Tidak patuh itu setidaknya membayar sekali dalam 5 tahun. Kalau patuh, full bayar terus. Kendaraan yang tidak aktif ialah tidak bayar pajak lebih dari 5 tahun," ujar Penelaah Teknis Kebijakan Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Aldo Fajri Pratama.
Di sisi lain, program pemutihan pajak juga tampaknya tidak berdampak signifikan dalam mendorong kemandirian fiskal daerah. Aceh bisa menjadi contoh. Provinsi ini rutin melakukan pemutihan pajak setiap tahun, tetapi tetap dikategorikan sebagai provinsi dengan kapasitas fiskal sangat rendah.
Meski begitu, provinsi dengan kapasitas fiskal sangat tinggi, seperti Provinsi Kalimantan Tengah, juga tetap rutin menggelar pemutihan pajak setiap tahunnya. Ini juga bisa diartikan bahwa pemutihan tampaknya hanya sekadar strategi populis kepala daerah.
Pemutihan pada akhirnya hanyalah alat, bukan tujuan. Pemutihan bisa bermanfaat jika digunakan secara bijak dan dalam kerangka strategi fiskal yang jelas. Namun, jika terus diulang tanpa perbaikan, kebijakan ini akan menumpulkan ide dalam meningkatkan kemandirian fiskal.
Pemda perlu berani melangkah lebih jauh dan mulai membangun sistem perpajakan daerah yang kuat, adil, dan tahan terhadap tekanan jangka pendek. (rig)