JAKARTA, DDTCNews – Wajib pajak bakal diwajibkan untuk mencantumkan nomor identitas tempat kegiatan usaha (NITKU) saat membuat bukti potong. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Jumat (18/10/2024).
Merujuk pada FAQ dalam simulator coretax, Ditjen Pajak (DJP) menekankan pencantuman NITKU penyedia barang atau jasa dalam bukti potong bersifat wajib. Simak e-Faktur 4.0: NITKU Muncul Otomatis pada Cetakan Faktur Pajak
Wajib pajak pun bisa mencoba membuat bukti potong dimaksud dengan mengakses menu e-Bupot atau withholding slips yang tersedia pada simulator coretax.
Dalam simulator tersebut, wajib pajak pemotong diarahkan untuk mencantumkan NPWP atau Tax Identification Number (TIN), sekaligus NITKU atau ID Place of Business Activity of Income Recipient ke dalam bukti potong.
Sebagai informasi, NITKU adalah nomor identitas yang diberikan untuk tempat kegiatan usaha wajib pajak yang terpisah dari tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak. NITKU diberikan kepada cabang dan melekat pada 1 NPWP pusat.
Meski secara definisi NITKU adalah nomor identitas untuk cabang, DJP telah menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-6/PJ/2024 yang di dalamnya turut memuat pengaturan soal NITKU bagi wajib pajak pusat.
Bagi wajib pajak pusat, NITKU selalu berakhiran 000000. Untuk cabang, NITKU memiliki akhir 000001 dan seterusnya sesuai dengan jumlah kantor cabang yang dimiliki.
Selain topik mengenai NITKU, ada pula ulasan mengenai potensi coretax system dalam mendukung optimalisasi penerimaan negara. Ada juga bahasan mengenai efek politik terhadap kebijakan pajak, serta direvisinya UU Kementerian Negara.
DJP menegaskan nomor identitas tempat kegiatan usaha (NITKU) telah diberikan secara otomatis terhadap setiap cabang setelah wajib pajak badan berstatus pusat melakukan pemutakhiran data.
Bila wajib pajak badan berstatus cabang tak kunjung mendapatkan NITKU hingga saat ini, wajib pajak badan berstatus pusat diimbau untuk melakukan pemutakhiran data terlebih dahulu.
"Silakan lakukan pemutakhiran data terlebih dahulu pada wajib pajak badan dengan status pusat," jelas Kring Pajak. (DDTCNews)
Analisis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani berharap coretax bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak untuk memenuhi berbagai kebutuhan pemerintah sehingga tidak lagi mengandalkan utang.
Oleh karena itu, dia menyarankan coretax system untuk dapat dikoneksikan kepada 2 sektor sumber penerimaan lainnya, yaitu cukai dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Dia juga berharap pemerintahan Prabowo Subianto dapat lebih fokus memacu PNBP melalui tata kelola sumber daya alam, termasuk dari BUMN. (Kontan)
Bank Indonesia (BI) melaporkan kinerja lapangan usaha industri manufaktur terus melambat seperti yang tecermin dalam laporan Prompt Manufacturing Index (PMI) BI pada kuartal III/2024.
Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso menjelaskan PMI BI kuartal III/2024 tercatat mencapai 51,54%. Kinerja ini ditopang oleh industri pengelolaan tembakau, industri barang galian bukan logam, serta industri mesin dan perlengkapan.
“Perkembangan tersebut sejalan dengan kinerja kegiatan lapangan usaha industri pengolahan berdasarkan hasil survei kegiatan dunia usaha BI yang tetap tumbuh dengan nilai saldo bersih tertimbang sebesar 1,38%,” tuturnya. (Bisnis Indonesia/Kontan)
Pemerintah resmi mengundangkan UU 61/2024 yang merevisi UU 39/2008 tentang Kementerian Negara.
Melalui revisi atas UU 39/2008, batas maksimal jumlah kementerian yang hanya sebanyak 34 kementerian resmi dihapus. Dengan demikian, presiden berwenang menambah jumlah kementerian sesuai kebutuhannya.
"Jumlah keseluruhan kementerian yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 ditetapkan sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan oleh presiden," bunyi Pasal 15 UU 61/2024. (DDTCNews)
DJP menegaskan akan tetap berfokus mengamankan penerimaan negara di tengah proses transisi pemerintahan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan terdapat target penerimaan pajak yang harus dikejar hingga tutup buku. Meski ada pergantian pimpinan, DJP akan terus mengupayakan target penerimaan pajak dapat tercapai.
"Tentu saja DJP terus fokus untuk mengamankan penerimaan tahun 2024 yang hanya tinggal 2,5 bulan lagi," katanya. (DDTCNews)
Dalam mengoptimalkan penerimaan negara, pemerintah dinilai perlu untuk mendorong kepastian hukum di bidang pajak.
Founder DDTC Danny Septriadi mengatakan ketidakpastian hukum pajak berpotensi memunculkan sengketa-sengketa baru pada masa depan. Menurutnya, optimalisasi penerimaan negara idealnya dijalankan dengan minim sengketa.
"Kalau sampai optimalisasi penerimaan kita dilaksanakan dengan meningkatkan penerimaan pajak sebesar-besarnya, tetapi sengketa masih tinggi, itu berarti belum optimal," katanya dalam DDTC Exclusive Gathering: Tax Update 2024. (DDTCNews)
Director Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memiliki agenda untuk meningkatkan pendapatan negara, yang utamanya bakal ditopang oleh pajak.
Dengan pemerintah yang baru ini, pengaruh faktor politik dalam kebijakan pajak juga diproyeksi meningkat. Untuk itu, wajib pajak perlu mengantisipasi dan menyusun langkah mitigasi terhadap agenda optimalisasi penerimaan pajak oleh pemerintah yang baru.
"Hari-hari ini cukup krusial bagi kita sebagai wajib pajak. Kalau dilihat dari aspek kebijakan pajak ke depan, sebenarnya akan sangat dipengaruhi oleh faktor politik," tuturnya dalam DDTC Exclusive Gathering: Tax Update 2024. (DDTCNews)