JAKARTA, DDTCNews - Bekerja sama dengan DDTCNews, Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) sedang mengembangkan sebuah kajian untuk mencari strategi resiliensi yang relevan dalam budaya organisasi bidang pajak di Tanah Air.
Untuk itu, DDTCNews dan IHIK3 berencana menghimpun pendapat masyakarat yang terkait dengan bidang pajak. Aparatur sipil negara (ASN), konsultan pajak, staf pajak perusahaan swasta, mahasiswa pajak, dan para praktisi pajak secara umum di Indonesia dapat mengisi kuesioner pada tautan https://bit.ly/HumorStylePajak.
Berdasarkan pada hipotesis awal, humor bisa menjadi ujung tombak untuk membangun basic underlying assumptions; menjadi strategi resiliensi untuk meminimalisasi stres kerja, burnout, penurunan performa, dan efek lainnya; hingga menjadi solusi perbaikan budaya dalam lingkup sebuah organisasi secara bottom-up.
Hal tersebut tidak terlepas dari pengalaman sejumlah praktisi pajak ketika bercerita tentang pemicu stres dalam pekerjaan. Contoh, salah satu praktisi pajak sebuah perusahaan konsultan mengatakan, āBagi saya, faktor yang lumayan bikin stres adalah āproyek candiā. Kalau ada deadline mepet, ditambah lagi saya belum familier dengan kasus dan industrinya, wah, itu kombinasi luar biasa.ā
Dari inisiatif awal untuk mendalami isu ketenagakerjaan pada bidang pajak di Indonesia, ada temuan bahwa budaya āproyek candiā ini sudah sangat lazim. Label āproyek candiā sendiri merujuk pada tenggat waktu pengerjaan suatu pekerjaan kompleks yang begitu singkat.
Di lapangan, perkara deadline yang ketat ini juga kerap diperparah dengan manajemen berkas klien yang kurang rapi serta kasus yang rumit. Alhasil, stres kerja yang dialami praktisi pajak, terutama pada bidang konsultan, pun rentan melonjak tinggi.
Hal tersebut mengingat konsultan memang berperan dan menyediakan jasa sebagai penghubung antar-stakeholder di bidang pajak. Dengan demikian, Ā budaya āproyek candiā ini jelas tak terhindarkan atau mustahil hilang sepenuhnya. Untuk itu, diperlukan solusi sistemik, yakni sinergi dari tataran terendah sampai tertinggi untuk membangun budaya organisasi yang berbasis resiliensi.
BUDAYA organisasi pada dasarnya merupakan konsep yang cukup sulit didefinisikan secara tekstual. Hal ini mengingat implementasi dan kebutuhannya sangat beragam menyesuaikan konteks organisasinya.
Namun, Edgar H. Schein (2010), pencetus konsep tersebut, mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu nilai yang dipercaya dan dijalankan oleh seluruh individu dan unit dalam organisasi. Psikolog Amerika kelahiran Swiss itu membagi budaya organisasi menjadi tiga lapisan bertingkat, yakni artefact, beliefs and values, serta basic underlying assumptions.
Artefact dimulai dari hal-hal yang bersifat simbolik. Contohnya bisa berupa quote motivasi bekerja yang dijadikan dekorasi dinding. Kemudian, Xbox dan meja pingpong yang tersedia di kantor untuk mengesankan work hard-play hard.
Selain itu, warna dinding yang sengaja dibuat cerah agar suasana kerja tidak melulu suram dan berbagai wujud simbolik lainnya. Hal ini penting, tetapi menjadi komponen paling lemah dalam membentuk budaya organisasi.
Beliefs and values secara spesifik berbicara tentang nilai serta kepercayaan yang dinarasikan. Bisa melalui logo, visi-misi, atau apapun yang bersifat naratif. Pasti Anda sering menjumpai moto perusahaan yang dibingkai dan digantung di dinding agar semua orang bisa mengingat sekaligus mempraktikkannya. Hal tersebut wujud sederhana dari beliefs and values sebagai langkah untuk membentuk budaya organisasi yang sehat.
Terakhir dan paling penting adalah basic underlying assumptions. Tingkatan ini justru sangat sulit ditemukan, baik dalam bentuk naratif maupun simbolik secara eksplisit. Lapisan ini bersifat mengakar dan esensial. Terletak bukan di dinding maupun dekorasi manapun, melainkan ada pada hati dan karakter individu. Hal inilah yang tentu berpotensi menentukan suasana yang tercipta dalam perusahaan secara keseluruhan.
Nah, ketika āproyek candiā menjadi tantangan abadi bagi praktisi pajak di bidang konsultan, organisasi terkait perlu berinisiatif menjadi resiliensi sebagai landasan dalam menyusun budaya organisasi. Hal ini kemudian diterjemahkan dalam bentuk artefact serta beliefs and values sehingga tertanam kuat dan menjadi basic underlying assumptions bagi seluruh individu maupun unit dalam perusahaan.
Jika tidak disiapkan pondasinya, kualitas hidup (well-being) para praktisi pajak di Indonesia akan makin tergerus akibat beban kerja berlebih yang berpotensi menyebabkan stres, burnout, hingga depresi.
Dengan pendekatan bottom-up, yaitu memperkuat akar fondasi dari masing-masing karyawan dengan kemampuan resiliensi yang baik, pembangunan budaya organisasi yang berorientasi pada peningkatan resiliensi bisa menjadi solusi. Tujuannya untuk melenturkan, bahkan memutus lingkaran setan antara āproyek candiā dan stres kerja tak berujung.
Oleh karena itulah, melalui kuesioner pada tautan https://bit.ly/HumorStylePajak, DDTCNews dan IHIK3 akan menyuarakan insight Anda agar bisa menjadi landasan penting dalam menciptakan budaya kerja di bidang pajak yang lebih sehat sekaligus menyenangkan pada kemudian hari.