Penyandang disabilitas tuna netra memijat konsumen di ruang unit usaha Spa Net di Rehabilitasi Sosial Bina Netra (RSBN) Janti, Malang, Jawa Timur, Senin (24/6/2024). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/YU
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah mengeklaim tidak ada standar baku yang bisa dijadikan acuan untuk menetapkan tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Dalam sidang pengujian materiil atas UU HKPD di Mahkamah Konstitusi (MK), Dirjen Perimbangan Keuangan Luky Alfirman mengatakan besaran tarif pajak yang ditetapkan atas suatu objek amatlah tergantung pada berbagai faktor di negara bersangkutan.
"Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain, sosial budaya, keagamaan, ekonomi, dan juga insentif pajak," ujar Luky membacakan sudut pandang pemerintah di persidangan, dikutip Jumat (12/7/2024).
Menurut Luky, pajak yang dikenakan pemerintah tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, melainkan juga untuk mengatur dan mengendalikan industri tersebut.
"Setiap negara memiliki pendekatan yang berbeda dalam menetapkan tarif pajak dan kebijakan terkait yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan sosial masing-masing," ujar Luky.
Untuk diketahui, UU HKPD mengatur jasa hiburan dikenai PBJT oleh pemerintah kabupaten/kota (pemkab/pemkot) dengan tarif maksimal 10%. Namun, khusus jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, tarif PBJT yang dikenakan adalah sebesar 40% hingga 75%.
Merespons perbedaan tarif tersebut, terdapat 3 pihak yang mengajukan pengujian materiil ke MK yakni Perhimpunan Pengusaha Husada Tirta Indonesia, PT Imperium Happy Puppy, dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).
Secara khusus, Perhimpunan Pengusaha Husada Tirta Indonesia meminta MK untuk menyatakan frasa 'mandi uap/spa' pada Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, PT Imperium Happy Puppy meminta MK untuk menyatakan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke namun dikecualikan terhadap karaoke keluarga, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%'.
GIPI juga meminta MK untuk menyatakan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dengan demikian, seluruh jenis jasa hiburan seharusnya dikenai PBJT dengan tarif yang sama, yaitu maksimal 10%. (sap)