JAKARTA, DDTCNews - Negara memiliki hak istimewa yang dikenal sebagai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik penanggung pajak.
Ketentuan hak mendahulu untuk utang pajak tercantum dalam Pasal 21 Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan Pasal 19 UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP).
“Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik penanggung pajak,” bunyi Pasal 21 ayat (1) UU KUP, dikutip pada Jumat (28/6/2024).
Sesuai dengan pasal tersebut, kedudukan negara sebagai kreditur preferen. Kreditur preferen berarti kreditur yang didahulukan karena memiliki hak istimewa atau hak prioritas. Negara sebagai kreditur preferen mempunyai hak mendahulu atas barang milik penanggung pajak dibandingkan dengan kreditur lain.
Hal ini berarti apabila penanggung pajak mempunyai tunggakan pajak, dengan hak mendahulu, negara mempunyai hak atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang di muka umum lebih dari kreditur lain.
Sementara itu, pembayaran kepada kreditur lain baru bisa diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. Adapun utang pajak tersebut meliputi pokok pajak serta sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
Hak mendahulu juga berlaku apabila barang milik penanggung pajak telah dilakukan penyitaan. Dengan demikian, apabila barang sitaan tersebut dilelang maka pihak yang melakukan pelelangan wajib mendahulukan hasil lelang untuk pelunasan utang pajak.
Bahkan, hak mendahulu ini berlaku apabila wajib pajak dinyatakan pailit, bubar, ataupun dilikuidasi. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 21 ayat (3a) UU KUP yang menyatakan:
“Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi, maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi melakukan pemberesan dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lain sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak wajib pajak tersebut.”
Kendati melebihi segala hak mendahulu lainnya, hak mendahulu untuk utang pajak tidak berlaku terhadap 3 hal. Pertama, biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak.
Kedua, biaya yang dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud. Ketiga, biaya perkara, yang hanya disebabkan pelelangan dan penyelesaian warisan. Artinya, hasil penjualan/lelang harus digunakan untuk membayar biaya itu terlebih dahulu dan sisanya untuk melunasi utang pajak.
Dalam perkembangannya, pemerintah juga mengatur hak mendahulu dalam konteks bantuan penagihan pajak dengan negara atau yurisdiksi mitra. Hak tersebut diatur dalam Pasal 118 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 61/2023.
Berdasarkan pada pasal tersebut, pemerintah Indonesia memiliki hak mendahulu untuk menagih utang pajak di Indonesia terhadap penanggung pajak yang dimintakan bantuan penagihan oleh negara atau yurisdiksi mitra.
Namun, konteks negara sebagai kreditur preferen dalam pembagian harta sempat menjadi polemik. Pasalnya, Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan juga menyatakan upah dan hak lain pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan apabila perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi.
Terkait dengan hal tersebut, ada rujukan berupa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 67/PUU-XI/2013. Putusan itu mengharuskan pembayaran upah pekerja/buruh didahulukan dalam kasus kepailitan. Meski demikian, MK menilai hak lain yang dimiliki pekerja tidak sama dengan upah.
Adanya putusan ini membuat kewajiban/ tagihan terhadap negara termasuk utang pajak berada pada tingkat setelah upah. Namun, hak lain yang dimiliki pekerja berada di bawah peringkat kreditor separatis.
Hal ini didasarkan pada pertimbangan majelis hakim yang memandang negara masih memiliki sumber penghasilan lain. Sementara itu, buruh menjadikan upah satu-satunya sumber mempertahankan hidup diri dan keluarganya. (kaw)