Ilustrasi. Warga mengakses layanan film daring melalui gawai di Jakarta, Sabtu (16/5/2020). DJP akan melakukan pungutan PPN sebesar 10% bagi produk digital impor dalam bentuk barang tidak berwujud maupun jasa (streaming music, streaming film, aplikasi, games digital dan jasa daring dari luar negeri) oleh konsumen di dalam negeri.. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/hp.
JAKARTA, DDTCNews – Langganan platform streaming film juga terkena pajak. Kendati merupakan bentuk hiburan, pajak yang dikenakan kepada pelanggan platform streaming film adalah pajak pertambahan nilai (PPN), bukan pajak hiburan.
Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b dan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 70/2022. Pasal tersebut menegaskan bahwa layanan digital berupa streaming film dikenakan PPN.
“Jasa kesenian dan hiburan (penyerahan jasa digital berupa streaming film atau audio visual lainnya melalui saluran internet atau jaringan elektronik) dikenai PPN.” bunyi kutipan Pasal 5 ayat (3) PMK 70/2022, dikutip pada Jumat (19/4/2024).
Ketentuan pengenaan PPN atas platform streaming film diatur dalam PMK 60/2022. Beleid tersebut, mengatur pengenaan PPN atas pemanfaatan barang kena pajak (BKP) tidak berwujud dan/atau jasa kena pajak (JKP) dari luar daerah pabean melalui perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
JKP melalui PMSE yang dikenakan PPN itu termasuk juga jasa digital. Adapun pelaku usaha PMSE yang memenuhi kriteria tertentu akan ditunjuk sebagai pemungut PPN. Berdasarkan Perdirjen Pajak No. PER-12/PJ/2020, batasan kriteria tertentu tersebut meliputi 2 hal.
Pertama, nilai transaksi dengan pembeli di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam 1 tahun atau Rp50 juta dalam 1 bulan. Kedua, jumlah traffic atau pengakses di Indonesia melebihi 12.000 dalam 1 tahun atau 1.000 dalam 1 bulan. Kriteria tersebut bisa bersifat akumulasi atau salah satunya.
Ditjen Pajak (DJP) akan menunjuk pelaku PMSE yang sudah memenuhi salah satu atau kedua kriteria tersebut sebagai pemungut PPN. Apabila sudah ditunjuk sebagai pemungut PPN maka pelaku usaha tersebut harus memungut PPN kepada pelanggannya, termasuk penyedia platform streaming online.
Sementara itu, pajak hiburan kini sudah berubah nomenklatur menjadi pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa kesenian dan hiburan. Perubahan itu seiring berlakunya UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Berdasarkan UU HKPD, jasa kesenian dan hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
Secara lebih terperinci ada 12 jasa kesenian dan hiburan yang menjadi objek PBJT. Pertama,
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu
Kedua, pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana. Ketiga, kontes kecantikan. Keempat, kontes binaraga. Kelima, pameran. Keenam, pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap. Ketujuh, pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor. Kedelapan, permainan ketangkasan.
Kesembilan, olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran. Kesepuluh, rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang.
Kesebelas, panti pijat dan pijat refleksi. Kedua belas, diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Adapun PBJT atas jasa kesenian dan hiburan merupakan salah satu jenis pajak daerah yang dipungut pemerintah kabupaten/kota. Adapun jasa kesenian dan hiburan yang dikenakan pajak daerah tidak dikenakan PPN.
Berdasarkan uraian tersebut, layanan streaming film tidak termasuk ke dalam objek PBJT atas jasa kesenian dan hiburan. Untuk itu, layanan streaming film tidak dikenakan PBJT atas jasa kesenian atau hiburan melainkan PPN sesuai dengan PMK 60/2022 dan PMK 70/2022. (sap)